dc.description.abstract | Mortalitas dan morbiditas ST-elevation myocardial infarction (STEMI) masih
tinggi, dan menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia. Reperfusi yang
tepat waktu menurunkan risiko MACE dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Namun, keterlambatan reperfusi masih menjadi masalah nyata di negaranegara berkembang, khususnya di daerah pedesaan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui karakteristik, penatalaksanaan, dan kejadian jantung buruk
mayor pasien STEMI di Kabupaten Jember untuk meningkatkan terapi reperfusi
di daerah pedesaan. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional
cross-sectional dengan metode kuantitatif. Sebanyak 108 rekam medis pasien
STEMI tahun 2019-2020 diikutsertakan dengan menggunakan teknik sampling
konsekutif. Sebanyak 78 (62%) pasien tidak mendapatkan terapi reperfusi
sedangkan pasien lainnya (41 atau 38%) mendapatkan terapi, yaitu: intervensi
koroner perkutan (20 atau 18,5%), terapi fibrinolitik (19 atau 17,6%), dan
keduanya (2 atau 1,9%). Analisis multivariat untuk reperfusi secara statistik
signifikan (p=0,016; OR 3,688; 95% CI: 1,274-10,679). Tingkat pendidikan, dana
kesehatan, dan jarak ke rumah sakit tidak mempengaruhi keterlambatan terapi
reperfusi. Reperfusi sangat terkait dengan kejadian MACE dan penelitian ini
menemukan manfaat tiga kali lipat reperfusi dalam menurunkan kejadian
MACE (p=0,016). Dapat disimpulkan bahwa mayoritas pasien STEMI tidak
mendapatkan terapi reperfusi. Keterlambatan perawatan reperfusi tidak
berhubungan dengan tingkat pendidikan pasien, dana kesehatan, atau jarak ke
rumah sakit. Meskipun demikian, keterlambatan tersebut mungkin disebabkan
oleh kurangnya kesadaran masyarakat Jember terhadap gejala STEMI. | en_US |