dc.description.abstract | Pada masa Orde Baru, permasalahan politik muncul dikalangan etnis
Tionghoa yang ada di Indonesia sebagai akibat dari adanya undang-undang dan
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur identitas dan
kebudayaan etnis Tionghoa. Salah satu contohnya adalah keputusan untuk
mengganti nama etnis Tionghoa dari nama-nama yang memakai bahasa dan aksara
Mandarin (Cina) menjadi nama-nama yang lebih Indonesia. Krisis identitas etnis
Tionghoa di Indonesia sangatlah nampak dengan masih digunakannya istilah
pribumi dan non pribumi untuk membedakan etnis Tionghoa dengan etnis pribumi
yang lain.
Identitas budaya etnis Tionghoa di Indonesia yang dilihat dari marga dan
nama yang disandangnya mulai menjadi perhatian pemerintah pasca terjadinya
peristiwa G-30-S tahun 1965. Peristiwa tersebut menjadi pukulan yang
menyakitkan bagi etnis Tionghoa karena mereka dicap sebagai masalah dan
dipandang sebagai ancaman karena dianggap bagian dari golongan pemberontak
yang memiliki loyalitas terhadap RRT dan gerakan komunis. Dengan adanya
stigma buruk terhadap etnis Tionghoa tersebut pemerintah memberikan jalan keluar
dengan asimilasi. Kebijakan asimilasi yang di ciptakan oleh pemerintah memaksa
etnis Tionghoa melebur ke dalam masyarakat lainnya dan menanggalkan semua ciri
khas mereka sebagai etnis Tionghoa.
Permasalahan dalam penelitian ini mencakup, 1) Bagaimana latar belakang
penggantian nama Etnis Tionghoa di Kabupaten Banyuwangi?; 2) Bagaimana
implikasi asimilasi total penggantian nama etnis Tionghoa di Kabupaten
Banyuwangi tahun 1966-1998?. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
sejarah oleh kuntowijoyo (2013) dimana terdapat lima langkah dalam penelitian
sejarah, yakni 1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi, (4) interpretasi, dan (5) penulisan/penyajian/historiografi. Penelitian ini menggunakan
21 sampel etnis Tionghoa peranakan atau keturunan. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui latar belakang peraturan ganti nama serta mengkaji implikasi asimilasi
total penggantian nama etnis Tionghoa di Kabupaten Banyuwangi tahun 1966-
1998.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, latar belakang penggantian nama
etnis Tionghoa di Kabupaten Banyuwangi disebabkan oleh pengaruh dari beberapa
Undang-Undang dan peraturan yang diciptakan oleh pemerintah seperti UndangUndang Nomor 62 Tahun 1958, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1959,
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961,
dan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi Nomor 3 Tahun
1969.. Diberlakukannya beberapa peraturan dengan kebijakan asimilasi oleh
pemerintah yang sebenarnya terkandung sikap diskriminatif di dalamnya, membuat
etnis Tionghoa harus bergerilya dalam kebudayaannya. Salah satunya, sejak
dikeluarkannya Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966, peraturan
tentang ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai nama Cina dan
Keputusan Presiden Nomor 240 Tahun 1967 tentang kebijakan pokok yang
menyangkut warga negara Indonesia keturunan asing yang menganjurkan
penggantian nama Cina dengan nama Indonesia dalam rangka proses asimilasi.
Kesimpulannya demi terciptanya kesatuan bangsa Indonesia, etnis
Tionghoa bersedia melaksanakan kebijakan asimilasi dengan menyamarkan
identitas budaya mereka agar bisa tetap diterima dan bertahan hidup di antara etnis
lainnya di Indonesia, salah satunya dengan mengganti nama Tionghoa mereka
menjadi nama yang lebih Indonesia. Meskipun system birokrasi dan prosedur untuk
mengganti nama sulit, syarat dan bianyanya tidak murah, kebanyakan etnis
Tionghoa di kabupaten Banyuwangi banyak yang merespon positif, menaati dan
melakukan pergantian nama. Hal tersebut meraka lakukan karena berbagai alasan,
mulai dari taat peraturan pemerintah, kepraktisan, harapan kemudahan untuk urusan
administrasi birokrasi, kesempatan untuk masuk sekolah maupun perguruan tinggi,
bahkan beberapa diantaranya beralasan dengan ganti nama menjadikan mereka
sebagai bagian yang utuh dari Bangsa Indonesia. | en_US |