dc.description.abstract | Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional
memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang
maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung
vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya.
Pengaturan tersebut di antaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan
Syariah. Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan
dan keniscayaan bagi berkembangan lembaga tersebut.
Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang
Nomor 10 Tahun 1998 belum
spesifik dan kurang mengakomodasi
karakteristik
operasional Perbankan
Syariah, dimana,
di sisi
lain pertumbuhan dan
volume
usaha Bank Syariah berkembang cukup
pesat. Guna menjamin
kepastian
hukum
bagi
stakeholders
dan sekaligus memberikan keyakinan kepada
masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam UndangUndang
No 21 Tahun 2008 Perbankan Syariah
ini diatur jenis usaha, ketentuan
pelaksanaan
syariah, kelayakan usaha, penyaluran
dana, dan larangan bagi Bank
Syariah
maupun
UUS yang merupakan
bagian
dari Bank Umum
Konvensional.
Adapun prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan
usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah,
yaitu kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir,
gharar, haram, dan zalim. dan menggunakan sistem antara
antara lain pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperolah
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip
sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa
iqtina)
Seiring dengan perkembangan industri perbankan syariah yang antara lain
ditandai dengan semakin beragamnya produk perbankan syariah dan
bertambahnya jaringan pelayanan perbankan syariah, maka Good Corporate
Governance pada industri perbankan syariah menjadi semakin penting untuk
dilaksanakan. Pelaksanaan Good Corporate Governance pada industri perbankan
syariah harus berlandaskan pada lima prinsip dasar. sesuai dengan yang
diamanatkan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syari’ah. Pertama, transparansi (transparency), Kedua, akuntabilitas
(accountability). Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility). Keempat,
profesional (professional). Kelima, kewajaran (fairness).
Sekarang sudah dikeluarkan PBI yang spesifik menekankan perlunya
penerapan GCG pada perbankan, yaitu PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang
Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum. PBI ini juga berlaku bagi bank syari’ah
yang artinya perbankan syari’ah juga diwajibkan menerapkan prinsip-prinsip
GCG dalam pengoprasian kegiatannya. Namun sejak tahun 2010, PBI No,
8/4/PBI/2006 sudah tidak berlaku lagi bagi bank syari’ah. Sebagai gantinya, telah
dikeluarkan PBI No.11/33/PBI/2009 tentang pelaksanaan GCG bagi Bank Umum
Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah. Latar belakang dikeluarkannya PBI ini adalah
bahwa pelaksanaan GCG di dalam industri Perbankan syari’ah harus memenuhi
prinsip syari’ah.
Ada 3 komponen dasar yang harus dipenuhi oleh perbankan syari’ah,
Pertama Perbankan syariah harus menerapkan kegiatan operasional usahanya
berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah, yang kedua bahwa Perbankan syari’ah
diwajibkan pula untuk melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik sesuai
Pasal 34 UU N0 21 Tahun 2008, selain itu yang ketiga adalah sesuai dengan PBI
No.11/33/PBI/2009 pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) di industri
perbankan syariah juga harus memenuhi prinsip syariah (sharia compliance).
Ketidak sesuaian tata kelola bank (Good Corporate Governance) dengan prinsip
syariah akan berpotensi menimbulkan berbagai risiko terutama risiko reputasi bagi
industri perbankan syariah.
Terdapat perbedaan pada level prinsip dan operasional antara bank
konvensional dan bank syari’ah yang memerlukan tambahan dibidang GCG untuk
menciptakan perbankan syari’ah yang sehat. Perbedaan tersebut adalah : (i) GCG
perbankan konvensional diatur dan dikembangkan secara bebas nilai (sekular)
dengan mengesampingkan aspek akuntabilitas kepada Allah SWT. (ii) Pentingnya
jaminan pelaksanaan kepatuhan pada prinsip syari’ah dan ketentuan dalam setiap
kegiatan usaha bank syari’ah. (iii) Perbedaan posisi nasabah bank syari’ah yang
umumnya menggunakan prinsip mudharabah sehingga lebih mirip sebagai quasy
equity holder. Namun dengan hak dan kewajiban yang berbeda dengan pemegang
saham. Bahwa dalam pengembangan GCG perbankan syari’ah diperlukan pula
rujukan norma yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan
faktor keunggulan antara lain untuk pengembangan etika dan sistem pengawasan
berbasis pengawasan dari dalam diri sendiri (Ihsan). Selain itu karena citra islami
yang melekat pada institusi perbankan syari’ah maka stakeholders perbankan
syari’ah juga menjadi lebih luas yaitu mencakup pula umat muslim secara umum,
hal ini antara lain karena ada hak umat yang melekat pada lembaga bank
khususnya mustahik yang terkait dengan permasalahan zakat yang dikelola bank
serta citra islami yang diemban oleh bank dimana umat secara umum akan
terugikan bila bank syari’ah mengalami kegagalan usaha atau melakukan
kecurangan yang dapat merusak citra islami secara umum.
Untuk itu Tatakelola perusahaan yang baik di dalam perbankan syari’ah
seharusnya mengakomodir prinsip-prinsip syari’ah sesuai dengan konsep sistem
ekonomi hukum islam yang telah mengaturnya tidak hanya asal menggunakan
tatakelola perusahaan yang baik yang telah ada (baca: yang sudah berlaku di bank
onvensional) karena ada perbedaan secara prinsip dan operasional diantara
keduanya. Maka penting bagi pembuat undang-undang sebelum membuat sebuah
Undang-Undnag dan atau aturan pelaksanaannya untuk memperhatikan dengan
seksama metode memformulasikan ajaran hukum islam tersebut kedalam sistem
hukum Indonesia. | en_US |