dc.description.abstract | Pada proses penyelesaian perkara tindak pidana terhadap anak, terdapat
perbedaan dengan pelaku tindak pidana dewasa. Adanya pembedaan pemberian
sanksi pidana ini merupakan wujud adanya hak anak yang istimewa yang memiliki
kekhususan sendiri. Di Indonesia, peraturan mengenai anak yang sedang berkonflik
dengan hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (yang selanjutnya disebut sebagai UU SPPA). selain sebagai
pelaku tindak pidana juga bisa menjadi korban dari tindak pidana. Untuk anak- anak
yang menjadi korban tindak pidana, juga terdapat peraturan perundang-undangan
yang melindungi yaitu dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak (yang selanjutnya disebut sebagai UU Perlindungan Anak).1
Dengan adanya
UU SPPA dan UU Perlindungan Anak ini, anak yang sedang berkonflik dengan
hukum atau disebut sebagai pelaku tindak pidana dan juga anak yang menjadi
korban tindak pidana dalam penanggulangan tindak pidana memiliki kebijakan
tersendiri yang terhubung dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat
khusus, di mana berdasarkan asas lex specialis derogate legi generali dinyatakan
bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Salah satu asas dalam Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa pidana
penjara merupakan upaya dan pilihan terakhir (ultimum remidium) dalam
penjatuhan pidana terhadap anak. Terdapat salah satu putusan pengadilan yang
menurut Peneliti menarik untuk dikaji, yaitu putusan Nomor : 32/Pid. SusAnak/2022/PN. Lht, dimana pada putusan tersebut terdakwa anak divonis dengan
pidana penjara oleh hakim dengan lama waktu 10 bulan penjara.
Kajian pustaka dari skripsi ini membahas yang pertama yaitu mengenai
tindak pidana persetubuhan dari mulai pengertian dan unsur tindak pidana,
kemudian pengertian tindak persetubuhan beserta unsur-unsurnya dalam undangundang perlindungan anak. Kedua yakni membahas mengenai perlindungan hukum
terhadap anak dari mulai pengertian anak dan perlindungan hukum terhadap anak
sebagai pelaku dan korban. Ketiga yakni membahas mengenai sistem pemidanaan
terhadap pelaku anak dari mulai pengertian, sistem pemidanaan dalam UndangUndang Sistem Peradilan Anak (UU SPPA), dan sistem pemidanaan dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak. Keempat yakni membahas pertimbangan
hakim dan putusan hakim dari mulai pengertian, jenis-jenis, dan syarat sah putusan
hakim.
Pembahasan dari skripsi ini yang pertama mengenai kesesuaian
pertimbangan hakim dalam menjatuhan sanksi pidana penjara terhadap pelaku anak
dalam Putusan Nomor : 32/Pid. Sus-Anak/2022/Pn. Lht jika diuji dengan Pasal 70
UU SPPA yang menyatakan bahwa bahwa “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi
anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian
1 Dheny Wahyudi, “Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Melalui
Pendekatan Restorative Justice.” Jurnal Ilmu Hukum. Jambi, Vol 1, 2015, h. 144
DIGITAL REPOSITORY UNIVERSITAS JEMBER
DIGITAL REPOSITORY UNIVERSITAS JEMBER
xiii
dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau
mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.
Yang kedua mengenai kesesuain putusan pemidanaan 10 bulan pidana penjara yang
dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku anak jika diuji dengan Pasal 81 Ayat (2) UU
SPPA mengatur bahwa “Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling
lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa”.
Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa yang pertama putusan hakim
yang menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku anak pada perkara Putusan
Nomor 32/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Lht. menurut hemat penulis sudah tepat jika
diuji dengan Pasal 70 UU SPPA, dikarenakan bahwa tidak terpenuhinya unsurunsur yang terdapat pada Pasal 70 UU SPPA yakni ringannya perbuatan, keadaan
pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi
kemudian. Dimana unsur-unsur tersebut dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk
tidak dijatuhinya pidana atau hanya dikenai tindakan, sehingga penjatuhan pidana
penjara oleh hakim dinilai sudah tepat. Yang kedua Penjatuhan vonis 10 bulan
pidana penjara oleh hakim terhadap pelaku anak sudah sesuai dan tidaklah
melanggar ketentuan berdasarkan Pasal 81 Ayat (2) UU SPPA yang menyatakan
bahwa “Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu
perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa”. Pasal 81 Ayat
(2) UU SPPA yang berisi tentang ketentuan lama waktu pidana penjara yang dapat
dijatuhkan kepada anak, hanya diatur mengenai ketentuan paling lama adalah 1/2
(satu perdua) dari maksimum pelaku dewasa, di mana bagi pelaku dewasa
maksimal pidana penjara untuk tindak pidana kekerasan seksual adalah 15 tahun
sehingga terhadap pelaku anak, pidana penjara paling lama waktu yang dapat
diberikan adalah 7,5 tahun yang merupakan 1/2 dari 15 tahun. Sedangkan dalam
Pasal 81 Ayat (2) UU SPPA, tidak diatur mengenai ketentuan minimal waktu
pidana penjara yang dapat diberikan terhadap anak, sehingga dapat dikatakan
bahwa penjatuhan vonis 10 bulan penjara oleh hakim terhadap pelaku anak, sudah
sesuai dan tidaklah melanggar aturan | en_US |
dc.description.sponsorship | 1. Halif, S.H, M.H.,
2. Laili Furqoni, S.H., M.H., | en_US |