dc.contributor.author | HARIS, Bayu Andhana | |
dc.date.accessioned | 2024-08-12T01:39:06Z | |
dc.date.available | 2024-08-12T01:39:06Z | |
dc.date.issued | 2024-01-19 | |
dc.identifier.nim | 190710101421 | en_US |
dc.identifier.uri | https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/123345 | |
dc.description | Finalisasi repositori tanggal 12 Agustus 2024_Kurnadi_Lana | en_US |
dc.description.abstract | Perlindungan Hukum Pada Pasien Kecelakaan Yang Mengalami Kondisi Tidak
Sadar Dalam Mendapatkan Tindakan Medis Tanpa Adanya Persetujuan (Informed
Consent) Yang Dilakukan Oleh Dokter; Bayu Andhana Haris; 190710101421; 90
halaman; 2023; Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember
Informed Consent adalah persetujuan Tindakan kedokteran yang diberikan
kepada pasien atau keluarga pasien setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran dan kedokteran kedokteran gigi yang dilakukan
terhadap pasien. Pada beberapa kasus kegawatdaruratan yang paling banyak
muncul adalah pendarahan dan eklamasi, pada kegawatdaruratan seperti ini
diperlukan tindakan yang mengharuskan seorang tenaga medis bertindak cepat dan
tanggap. Masalah kemudian terjadi ketika tindakan yang dilakukan memiliki resiko
tinggi yang mengharuskan tenaga medis meminta persetujuan terlebih dahulu.
Karena setiap orang berhak mendapatkan informasi kesehatan termasuk juga
tindakan medis yang telah diberikan maupun yang akan diberikan oleh tenaga
medis. Hal tersebut menjadikan seorang dokter menjadi dilema, jika tanpa adanya
Informed Consent akan menjadi pelanggaran Standar Operasional Prosedur, tetapi
jika menunggu meminta Informed Consent terlebih dahulu maka nyawa pasien
tidak bisa terselamatkan. Kelengkapan pengisian persetujuan tindakan (Informed
Consent) juga sangat penting dan dapat menjadi masalah karena mempengaruhi
aspek hukum rekam medis dan mutu rekam medis sehingga diperlukan pelaksanaan
yang maksimal untuk pengisian persetujuan tindakan (Informed Consent) serta
mengetahui faktor penyebab ketidakmaksimalan dalam pengisian persetujuan
tindakan (Informed Consent). Jika formulir persetujuan tidak diisi lengkap, maka
mengakibatkan isi formulir persetujuan tindakan kedokteran tidak akurat, tidak
tepat dan berdampak pada sifat legal dari formulir persetujuan tindakan kedokteran
bila dikemudian hari terjadi perselisihan antara pasien dengan dokter atau tenaga
kesehatan lainnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis menuliskan tiga
rumusan masalah yaitu: bagaimana bentuk perlindungan hukum pada seorang
pasien kecelakaan dalam kondisi tidak sadar yang mendapatkan tindakan medis
tanpa adanya persetujuan (Informed Consent)?, bentuk tanggung jawab apakah
yang dilakukan oleh seorang dokter jika terjadi hal yang merugikan pasien tersebut
?, bagaimana upaya penyelesaian sengketa antara pasien dan dokter jika terjadi hal
yang merugikan pasien?. Penelitian skripsi ini menggunakan metode yuridis
normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan yaitu
bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder dengan menggunakan metode
pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan (library research) dengan analisis
penelitian menggunakan metode deduktif.
Hasil Penelitian dari skripsi ini dapat diketahui pada Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan
Medik, dimana dalam suatu keadaan gawat darurat tidak diperlukan informed
consent, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MenKes/PER/III/2008 Pasal
12 yang menegaskan yaitu Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat
indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
Consent ini dinamakan implied consent dan dalam keadaan gawat darurat
dinamakan constructive consent untuk membedakan dengan implied consent
lainnya. Selanjutnya, dalam hal dokter melakukan suatu wanprestasi terhadap
kesepakatan yang telah ditentukan bersama, maka seorang dokter tersebut haruslah
bertanggungjawab secara hukum dengan memberikan ganti rugi atau kompensasi
kepada pasien, dan apabila dokter melakukan kesalahan atau kelalaian sehingga
menimbulkan sesuatu yang merugikan pasien maka tanggungjawab yang harus
diberikan adalah berupa hukuman pidana sesuai dengan seberapa berat kesalahan
yang diperbuatnya. Selain itu juga sanksi yang diberikan dapat berupa pencabutan
Surat Izin Praktek atau Surat Izin Register dokter. Penyelesaian perkara ingkar janji
yang dilakukan oleh dokter dalam transaksi terapeutik, biasanya diprioritaskan
secara kekeluargaan diluar pengadilan, yaitu melalui negosiasi maupun mediasi
dengan mediator dari pihak keluarganya sendiri.
Kesimpulan dari skripsi ini yaitu Pertama, bentuk perlindungan hukum
pada seorang pasien kecelakaan dalam kondisi tidak sadar yang mendapatkan
tindakan medis tanpa adanya persetujuan (Informed Consent) telah diatur dalam
KUHPerdata Pasal 1365 dan 1367 mengenai pertanggungjawaban seorang tenaga
medis terhadap pasien, serta dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Peraturan
diatas menjadi payung hukum atas semua tindakan dokter atau tenaga medis
terhadap pasien bilamana suatu tindakan tersebut merugikan atau ditemuinya suatu
kelalaian tindakan tenaga medis terhadap pasien. Kedua, tanggung jawab yang
dilakukan oleh seorang dokter jika terjadi hal yang merugikan pasien adalah
memberikan tanggung jawab hukum baik secara perdata maupun pidana, dalam
tanggung jawa secara perdata adalah seorang tenaga medis haruslah memberikan
ganti rugi atau kompensasi atas akibat dari kelalaian tindakan yang dilakukannya.
Dalam ranah pidana, tanggung jawab tenaga medis dapat dilihat dari seberapa berat
kesalahan atau kelalaian yang diperbuatnya dan mendapatkan hukuman atas
tindakan lalainya tersebut. Ketiga, upaya penyelesaian sengketa antara pasien dan
dokter jika terjadi hal yang merugikan pasien adalah dengan memprioritaskan
penyelesaian secara kekeluargaan diluar pengadilan, melalui negosiasi maupun
mediasi dengan kedua belah pihak terkait. Saran yang penulis berikan dalam skripsi
ini adalah yaitu, Pertama, untuk pemerintah dan penegak hukum bahwa seluruh
sengketa antara dokter dengan pasien dapat dilakukan dengan menggunakan
instrument hukum yang spesifik terkait dengan kesehatan dan kedokteran, Kedua,
dokter atau rumah sakit, harus memiliki pemahaman mengenai hukum kesehatan
agar dalam pemberian informed consent mengetahui hak dan kewajiban masingmasing pihaknya sehingga kedepannya tidak akan timbul kerugian yang dialami
oleh salah satu pihak. Ketiga, tenaga medis harus melakukan tindakan medis sesuai
dengan apa yang diatur dalam kode etik dan standar operasi yang ada, tidak lepas
dari itu juga harus melakukan tindakan sesuai dengan undang-undang dan peraturan
yang berlaku di Indonesia. | en_US |
dc.description.sponsorship | 1. Dr. Firman Floranta Adonara, S.H., M.H.; Ayu Citra Santyaningtyas, S.H., M.H., M.Kn., Ph.D. | en_US |
dc.language.iso | other | en_US |
dc.publisher | Fakultas Ilmu Hukum | en_US |
dc.subject | Perlindungan Hukum | en_US |
dc.subject | Informed Consent | en_US |
dc.subject | Hukum Kesehatan | en_US |
dc.subject | Pelayanan Kesehatan | en_US |
dc.title | Perlindungan Hukum pada Pasien Kecelakaan yang Mengalami Kondisi Tidak Sadar dalam Mendapatkan Tindakan Medis Tanpa Atnya Persetujuan (Informed Consent) yang Dilakukan Oleh Dokter | en_US |
dc.type | Skripsi | en_US |
dc.identifier.prodi | Ilmu Hukum | en_US |
dc.identifier.pembimbing1 | Dr. Firman Floranta Adonara, S.H., M.H. | en_US |
dc.identifier.pembimbing2 | Ayu Citra Santyaningtyas, S.H., M.H., M.Kn., Ph.D. | en_US |
dc.identifier.validator | validasi_repo_firli_januari_2024_19 | en_US |