Show simple item record

dc.contributor.authorKANTREY SUGIARTO
dc.date.accessioned2013-12-24T04:59:57Z
dc.date.available2013-12-24T04:59:57Z
dc.date.issued2013-12-24
dc.identifier.nimNIM090720101036
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/12322
dc.description.abstractPada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa (DK PBB) mengeluarkan Resolusi 1264. Resolusi ini mengutuk tindakan kekerasan pasca jajak pendapat di Timor Timur. Atas resolusi PBB tersebut ada dua pilihan yang dapat ditempuh Indonesia, yaitu menyerahkan permasalahan ini pada Mahkamah Internasional (merupakan organ utama peradilan PBB yang berkedudukan di Peace Palace, Den Haag) atau mengadili sendiri di dalam negeri. Berbagai macam tekanan dan ancaman memperkuat kecurigaan bahwa pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional memang sarat dengan muatan politis. Hal ini menimbulkan keprihatinan dan kekhawatiran terhadap objektivitas sistem peradilan Internasional yang ada pada lembaga pengadilan yang dibentuk di bawah naungan PBB. Untuk menghindari diadilinya pelaku pelanggaran HAM ditingkat internasional, kemudian Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia Tahun 1999 (UU HAM 1999) dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU PHAM 2000) untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM, khususnya penyikapan mengenai resolusi 1264 PBB. UU HAM 1999 merupakan undang-undang yang merupakan landasan hukum untuk melindungi HAM baik HAM di bidang ekonomi, sosial maupun HAM bidang politik. Sedangkan UU PHAM 2000 merupakan undang-undang yang menjadi landasan hukum bagi penegakan HAM terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lahirnya UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000 lebih banyak karena pertimbangan politis. Masih jauh dari niatan penegakan supremasi hukum yang sebenar-benarnya. Undang-undang ini lahir terlalu tergesa-gesa, mengingat begitu kerasnya tekanan dunia internasional atas pelanggaran HAM berat di Timor Timur, bahkan Komisi HAM PBB pada waktu itu mendesak dibentuknya tim internasional pencari fakta atas kerusuhan Timor Timur. Pemerintah sangat kewalahan menghadapi tekanan Internasional tersebut. UU PHAM 2000 dibentuk dengan tujuan membentuk Pengadilan HAM (PHAM) yang bertugas memelihara dan mempertahankan perlindungan HAM di Indonesia dan merupakan lembaga peradilan satu-satunya untuk memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Undang-undang ini juga meletakkan dasar hukum untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diberlakukannya undang-undang ini (tanggal 23 Nopember 2000) atau di masa lampau dengan mekanisme melalui PHAM Ad Hoc, sedangkan untuk kasus pelanggaran HAM setelah undang-undang ini diberlakukan, melalui mekanisme PHAM permanen. Polemik penyelesaian pelanggaran HAM masa lampau berdasarkan undang-undang ini terletak pada prosedurnya di mana pembentukan PHAM Ad Hoc harus diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kepada Pemerintah dengan sekaligus menetapkan untuk kasus yang terjadi dimana (locus delicti) dan untuk waktu kejadian yang mana (tempus delicti). Pertimbangan penetapan PHAM Ad Hoc melalui prosedur politik tersebut ialah bahwa, pemberlakuan hukum untuk masa lampau bertentangan dengan asas universal yaitu Non-Retroactivity Principle (asas legalitas) dan pemberlakuan berlaku surut tersebut memerlukan dukungan politis dari DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat Indonesia di tingkat Pusat. Namun keikutsertaan lembaga tersebut bukan untuk menetapkan ada atau tidak adanya dugaan pelanggaran HAM berat akan tetapi untuk menetapkan pembentukan PHAM Ad Hoc untuk locus delicti tertentu dan tempus delicti tertentu. Penerapan asas retroaktif bertentangan dengan asas legalitas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan ”...hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” dan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Salah satu konsekuensi dari ketentuan tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana. Ketentuan UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000 yang mengatur mengenai asas retroaktif tertuang dalam Penjelasan Pasal 4 UU HAM 1999 dan Pasal 43 UU PHAM 2000. Sehubungan dengan itu, penelitian mengenai penerapan asas retroaktif dalam UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000 bertujuan untuk mengetahui dasar diterapkannya asas retroaktif dalam UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000 serta menganalisa asas retroaktif tersebut yang dikaitkan dengan sistem hukum Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia penerapan asas retroaktif tidak diperkenankan oleh UUD 1945 yang tercantum dalam pasal 28I ayat (1), tetapi sampai saat ini asas retroaktif bisa diterapkan dengan mengacu pada UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000. Penuangan asas retroaktif dalam penjelasan pasal 4 UU HAM 1999 yang bertentangan dengan dengan materi muatan dalam pasal 4 UU HAM 1999 juga tidak sesuai dengan UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sedangkan penjelasan pasal 4 UU HAM 1999 merupakan dasar diaturnya pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili kasus-kasus yang terjadi sebelum lahirnya UU PHAM 2000, hal ini tertuang dalam pasal 43 UU PHAM 2000. Jadi selain bertentangan dengan UUD 1945 penerapan asas retroaktif dalam UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000 tidaklah sesuai dengan tekhnik pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU 10 Tahun 2004. Untuk itu penerapan Asas retroaktif pada UU HAM 1999 dan UU PHAM 2000 hendaknya segera direvisi oleh lembaga-lembaga negara yang mempunyai fungsi legislasi (membentuk undang-undang) yaitu DPR bersama Presiden.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries090720101036;
dc.subjectASAS RETROAKTIF DALAM UNDANG - UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN UNDANG - UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIAen_US
dc.titlePENERAPAN ASAS RETROAKTIF DALAM UNDANG - UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN UNDANG - UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA APPLICATION OF RETROACTIVE PRINCIPLE IN THE LAW NUMBER 39 OF 1999 CONCERNING ON HUMAN RIGHTS AND THE LAW NUMBER 26 OF 2000 CONCERNING ON HUMAN RIGHTS COURT IN INDONESIAN LEGAL SYSTEMen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record