Dinamika Peradilan Etika Pemilu Pasca Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022
Abstract
Pemilu merupakan realisasi pemenuhan asas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jika suatu pemilihan umum tidak terselenggara secara jujur dan adil, serta tidak kompetitif maka hal tersebut dianggap kurang atau tidak adanya demokrasi. Calon peserta Pemilu yang berlaga dalam pemilihan umum harus merupakan individu yang memiliki integritas, kualitas, dan etika yang baik. Salah satu lembaga penyelenggara Pemilu yakni DKPP yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Penyelenggara Pemilu. Keunikan lembaga ini adalah prosesnya yang bersifat terbuka sehingga berbeda dengan lembaga etik lainnya yang prosesnya bersifat tertutup. Keunikan selanjutnya yakni keputusan DKPP yang bersifat final dan mengikat, sehingga pihak yang dijatuhi sanksi tidak dapat melakukan upaya hukum lain setelah DKPP mengambil keputusan dan menginstruksikan kepada penyelenggara untuk melaksanakannya.
Namun ternyata berkaitan dengan sifat final dan mengikat DKPP itu tadi terdapat kasus Evi Novida Ginting Manik yang pada pertengahan Maret 2020, diberhentikan dari jabatannya sebagai Komisioner KPU oleh DKPP. Ketua DKPP RI mengatakan bahwa kewenangan DKPP adalah memeriksa terkait pelanggaran kode etik serta putusan DKPP itu bersifat final dan mengikat, dan tidak dapat diajukan gugatan ke PTUN. Tidak ada lagi koreksi bagi putusan peradilan etik yang mempunyai sifat final dan mengikat. Jimly Asshiddiqie menggagas adanya peradilan etika Pemilu di Indonesia yang selama ini sudah dijalankan oleh DKPP karena putusannya yang bersifat final dan mengikat serta menggunakan prinsip-prinsip peradilan universal. Namun pada Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 MK menegaskan bahwa tidak ada lagi badan peradilan khusus di bawah MA atau MK.
Kedudukan DKPP pasca Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 adalah sebagai badan penyelenggara Pemilu yang sejajar dengan KPU dan Bawaslu, bukan lagi sebagai peradilan etika sesuai gagasan JimlyAsshiddiqie DKPP hanya lembaga penyelenggara Pemilu yang memiliki fungsi memeriksa dan memutus adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu dan putusannya tidak bersifat final karena dapat dijadikan objek gugatan di PTUN dan mengikat hanya bagi Presiden, KPU, dan Bawaslu. Tidak ada perubahan dalam mekanisme peradilan etika yang dilakukan oleh DKPP, kecuali putusannya yang tidak final dan dapat diajukan gugatan ke PTUN. Hanya saja implikasi dari Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 mengakibatkan gagasan Jimly mengenai DKPP sebagai peradilan etika menjadi tidak dimungkinkan dikarenakan berbagai pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 32/PUU-XIX/2021 dan Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]