Show simple item record

dc.contributor.authorCHULUQY, Mochammad Rafy
dc.date.accessioned2023-11-20T07:03:01Z
dc.date.available2023-11-20T07:03:01Z
dc.date.issued2023-05-23
dc.identifier.nim190910302056en_US
dc.identifier.urihttps://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/118780
dc.descriptionFinalisasi unggah file repositori tanggal 20 November 2023_Kurnadien_US
dc.description.abstractSetiap masyarakat memiliki pemaknaan yang berbeda-beda terhadap kebudayaan yang dimilikinya. Indonesia sebagai negara multikulturalisme tentunya memiliki keberagaman kebudayaan di setiap wilayahnya, seperti halnya di Argosari Lumajang, desa yang terletak di lereng pegunungan Bromo ini memiliki kebudayaan yang mempunyai keunikan tersendiri terlebih pada sistem kepercayaannya yang berkaitan erat dengan hal mistis Bromo. Masyarakat yang menghuni tanah suci ini (hila-hila) disebut dengan Wong Tengger, mereka memiliki sistem kepercayaan yang telah mendarah daging yaitu Budo Jawi Wisnu atau Siwa Budo, sistem kepercayaan atau agama ini telah menjadi bagian dari sistem kebudayaan mereka dan menjadi cara bertindak (way of life) bagi Wong Tengger. Muncul sebuah masalah saat adanya upaya peminggiran agama yang telah Wong Tengger dan para leluhurnya yakini, lewat PNPS No. 1 1965 rezim Orde Lama menghapuskan agama-agama lokal dan hanya mengakui enam agama saja yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius), namun dalam pergantian rezim ke Orde Baru agama Khong Cu dan kebudayaan Cina sempat dibekukan (boleh dilakukan dalam lingkup keluarga atau perseorangan) lewat Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, sehingga hanya terdapat lima agama yang diakui oleh pemerintah Orde Baru yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Instruksi tersebut dicabut pada tahun 2000 lewat Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 pada kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan mengakui kembali keberadaan Khong Cu sebagai agama di Indonesia. Stereotype sebagai komunitas tak beragama, tidak dipenuhinya hak-hak jika tidak menganut agama resmi membuat Wong Tengger Argosari dan sekawasan Tengger lainnya beralih menjadi penganut agama menjadi Hindu. Mulai pada masa itu identitaske-Tenggeran mulai mengalami banyak fenomena konstruksi baik dari pihak internal maupun eksternal. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu negosiasi identitas yang dilakukan Wong Tengger dalam mempertahankan agama Tengger?, analisis akan dilakukan menggunakan dua konsep teori, yaitu Interpretasi Budaya Clifford Geertz dan Imajinasi Sosiologi dalam konsep struktural, kultural dan prosesual Paulus Wirutomo guna mendeskripsikan fenomena negosiasi identitas yang dilakukan Wong Tengger dalam mempertahankan agama Tengger, karena tentu mereka tidak akan diam saja jika kepercayaan yang telah mendarah daging ini berusaha digantikan. Metode penelitian jenis kualitatif dengan pendekatan fenomenologi digunakan dalam penelitian ini, pemaknaan umum serta berbagai pengalaman hidup dari adanya fenomena negosiasi untuk mempertahankan agama Tengger. Dalam penentuan informan, penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dan digunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu pengamatan atau observasi, wawancara dan dokumentasi. Untuk menguji keabsahan data, penelitian ini menggunakan teknik triangulasi, selanjutnya untuk teknik analisis melalui tahap reduksi, sajian dan menyimpulkan data. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa memang terdapat langkah-langkah negosiasi yang dilakukan oleh Wong Tengger Argosari dalam mempertahankan agama Tengger, namun setelah adanya peraturan pemerintah mengenai agama resmi, sebutan agama Tengger sudah tidak ada lagi, sifat agama yang omnipresent membuat agama Tengger tetap berjalan atas nama adat budaya Tengger. Adapun langkah-langkah negosiasi yang didapati meliputi dalam penegosiasian agama lokal ke agama resmi, tempat ibadah, pakaian adat, salam khas Tengger, upacara kelahiran, mata pencaharian dan adanya politik lokal Tengger sebagai cara untuk mempertahankan agama Tengger. Identitas ke-Tenggeran juga diperebutkan karena memiliki nilai lebih seperti halnya dalam segi pariwisata. Negosiasi ini tidak lepas dari adanya dua faktor yaitu faktor eksternal yang merupakan aturan dari pemerintah maupun agama resmi yang mereka anut sekarang, dan faktor internal yang merupakan pemahaman kebudayaan Tengger. Pemahaman kebudayaan Tengger ini tidak lepas dari pengaruh romo dukun yang menjadi pemangku adat dan dengan otoritas tradisional dan karismatiknya mampu menanamkan pemahaman mengenai adat budaya Tengger. Keseharian Wong Tengger Argosari tidak lepas dari perlawanan terhadap pihak-pihak eksternal walaupun tidak bersifat konfrontatif. Hal ini dikarenakan mereka sadar bahwa ada yang ingin mengkonstruksi mereka seperti halnya lewat Balinisasi dan Islamisasi. Identitas sendiri bukanlah sesuatu yang diberikan dan bersifat statis, identitas terus terbentuk (process of becoming) yang sangat dinamis. Terbentuknya identitas tidak lepas dari faktor internal dan eksternal sehingga memunculkan ruang proses negosiasi. Penelitian ini berhasil memotret dan mendeskripsikan fenomena-fenomena negosiasi identitas yang dinamis tersebut.en_US
dc.description.sponsorshipDosen Pembimbing utama : Drs. Akhmad Ganefo, M.Si Dosen Pembimbing anggota : Lukman Wijaya Baratha, S.Sos., M.Aen_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politiken_US
dc.subjectKepercayaan Lokalen_US
dc.subjectBudaya Tenggeren_US
dc.titleNegosiasi Identitas Wong Tengger dalam Mempertahankan Agama Tengger, Argosari - Lumajangen_US
dc.typeSkripsien_US
dc.identifier.prodiSosiologien_US
dc.identifier.pembimbing1Drs. Akhmad Ganefo, M.Sien_US
dc.identifier.pembimbing2Lukman Wijaya Baratha, S.Sos., M.Aen_US
dc.identifier.validatorvalidasi_repo_ratna_Oktober_2023_16en_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record