dc.contributor.author | RAMADHANI, Aliya Nisa | |
dc.date.accessioned | 2023-10-23T08:22:26Z | |
dc.date.available | 2023-10-23T08:22:26Z | |
dc.date.issued | 2023-08-10 | |
dc.identifier.nim | 190710101198 | en_US |
dc.identifier.uri | https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/118411 | |
dc.description | Finalisasi unggah file repositori tanggal 23 Oktober 2023_Kurnadi | en_US |
dc.description.abstract | Latar belakang skripsi ini adalah kebutuhan akan modal dalam rangka
memenuhi hajat hidup semakin dibutuhkan. Salah satu fasilitas yang telah negara
berikan untuk mendukung kemajuan ekonomi adalah fasilitas dari lembaga
pembiayaan. Salah satu lembaga pembiayaan sebagai sumber pendanaan adalah
leasing. Sebuah jaminan dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi karena memiliki
peranan penting. Jaminan kebendaan diperlukan untuk memberi perlindungan
kepada kreditor sehingga memiliki suatu keyakinan. Maka digunakanlah Jaminan
Fidusia, dimana diatur dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia. Mengenai debitor menjadi wanprestasi, menurut Pasal 29 UUJF,
perusahaan leasing yang bertindak sebagai kreditor dapat melakukan eksekusi
objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. Selanjutnya, muncul suatu
polemik akibat ditetapkan Putusan Mahkamah Kontitusi Republik Indonesia No.
18/PUU-XVII/2019. Putusan ini adalah hasil uji materiil atas Pasal 15 ayat (2)
dan (3) UUJF. Pertimbangan MK ialah: Pertama, perbuatan sepihak oleh kreditor
sebagai penerima fidusia dapat menimbulkan perbuatan sewenang-wenang dan
seringkali dilakukan dengan cara yang kurang manusiawi. Kedua, frasa “kekuatan
eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum
tetap” dalam Pasal 15 ayat (2) UUJF dan penjelasannya mengikat secara hukum.
Ketiga frasa “cidera janji” dalam Pasal 15 ayat (3) UUJF mengikat sepanjang
diartikan bahwa cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditor
melainkan atas dasar kesepakatan atau atas dasar upaya hukum yang menentukan
telah terjadinya cidera janji. Selanjutnya, terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2/PUU-XIX/2021 yang hanya merupakan penegasan atas putusan
sebelumnya untuk tetap diberlakukan. Akibat Putusan MK ini, apabila terjadi hal
demikian maka kreditor tidak lagi diperkenankan secara sepihak mengeksekusi
objek jaminan fidusia. Kreditor harus melalui prosedur dan mekanisme
pengadilan negeri atau suatu upaya hukum terlebih dahulu untuk menentukan
wanprestasi sebelum dapat mengeksekusi barang jaminan tersebut..
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam tulisan ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah
keabsahan dari eksekusi objek jaminan fidusia tanpa melalui putusan Pengadilan
Negeri? (2) Bagaimanakah pengaturan norma eksekusi objek jaminan fidusia
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 dalam eksekusi leasing atas
jaminan fidusia? Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui
keabsahan dari eksekusi objek jaminan fidusia tanpa melalui putusan Pengadilan
Negeri dan untuk mengetahui pengaturan norma eksekusi objek jaminan fidusia
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 dalam eksekusi leasing atas
jaminan fidusia. Metode penelitian yang diterapkan dalam penulisan skripsi
adalah metode penelitian doktrinal dengan menggunakan pendekatan pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan undang-undang (statute
approach), dan pendekatan kasus (case approach). Bahan hukum yang digunakan
adalah bahan hukum primer dan sekunder, dengan metode pengumpulannya yaitu
studi kepustakaan.
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian sebagai berikut: Pertama,
keabsahan dari eksekusi objek jaminan fidusia tanpa melalui putusan Pengadilan
Negeri adalah tidak sah. Eksekusi jaminan fidusia tidak sah karena tidak
dilaksanakan sesuai dengan penafsiran Putusan MK. Diperlukan suatu upaya
hukum atau mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi di Pengadilan Negeri.
Hal ini terjadi ketika debitor tidak ada penyerahan sukarela objek jaminan dan
tidak ada kesepakatan mengenai wanprestasi.. Kedua, pengaturan norma eksekusi
objek jaminan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUUXVII/2019 dan No. 2/PUU-XIX/2021 adalah titel eksekutorial untuk
melaksanakan eksekusi sertifikat jaminan fidusia harus ditempuh prosedur
sebagaimana pelaksanaan putusan pengadilan yang telah inkrah. Selain itu
penetapan cidera janji harus dengan persetujuan debitor atau dengan suatu
keputusan/penetapan dari suatu upaya hukum terlebih dahulu. Hal tersebut
merupakan perubahan terhadap penafsiran Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UUJF.
Saran berlandaskan dari permasalahan yang ada dikaitkan dengan
kesimpulan adalah sebagai berikut: Pertama, sebaiknya saat terjadi perkara yang
mengharuskan eksekusi objek jaminan fidusia melalui Pengadilan Negeri wajib
mengikuti prosedur dan syarat yang berlaku. Kedua, hendaknya sebagai pedoman
dan pertimbangan dalam pelaksanaan proses eksekusi jaminan fidusia maupun
acuan pembuatan peraturan perundang-undangan lanjutan, para praktisi hukum
dan pembuat undang-undang harus memahami perubahan norma dan implikasi
yang mungkin ditimbulkan dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUUXVII/2019 dan No. 2/PUU-XIX/2021. | en_US |
dc.description.sponsorship | Dosen Pembimbing Utama : I Wayan Yasa, S.H., M.H.,
Dosen Pembimbing Anggota :Emi Zulaika, S.H., M.H., | en_US |
dc.language.iso | other | en_US |
dc.publisher | Fakultas Hukum | en_US |
dc.subject | Leasing | en_US |
dc.subject | Jaminan Fidusia | en_US |
dc.subject | Eksekusi Objek | en_US |
dc.title | Eksekusi Objek Jaminan Fidusia oleh Leasing Tanpa Adanya Putusan Pengadilan Negeri | en_US |
dc.type | Skripsi | en_US |
dc.identifier.prodi | Ilmu Hukum | en_US |
dc.identifier.pembimbing1 | I Wayan Yasa, S.H., M.H. | en_US |
dc.identifier.pembimbing2 | Emi Zulaika S.H., M.H. | en_US |
dc.identifier.validator | Kacung- 2 Oktober 2023 | en_US |