Kajian Yuridis Usulan Pemberhentian Wakil Presiden Oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam Kasus Dana Talangan (Bail Out) Bank Century Menurut Undang-Undang Dasar 1945
Abstract
Penulisan Skripsi ini dilatar belakangi oleh kondisi perpolitikan negara
yang tidak stabil berkaitan dengan pengucuran dana talangan (bail out) bank
Century. Bank tersebut dianggap bank gagal oleh anggota DPR, lantas berujung
kepada kesimpulan paripurna DPR bahwa dana talangan (bail out) yang
dikucurkan kepada bank Century bermasalah dan mempunyai indikasi korupsi.
Anggapan tersebut diperkuat lagi dengan hasil akhir pansus Century yang
mayoritas memilih opsi C, pilihan tersebut menyebutkan bahwa dana talangan
(bail out) bank Century senilai 6,7 Triliun bermasalah.
Lantas kemudian pejabat yang bertanggung jawab terhadap dana talangan
(bail out) tersebut salah satunya adalah Wakil Presiden. Sebagai negara hukum
sesuai dengan amanah Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum, maka menjadi keniscayaan setiap pejabat yang diduga melanggar
hukum harus diproses sesuai hukum yang belaku.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis memandang perlu untuk
mengkaji sekian permasalahan mengenai lembaga kepresidenan khususnya terkait
dengan wacana pemberhentian wakil Presiden dalam suatu karya ilmiah yang
berbentuk skripsi dengan judul “Kajian Yuridis Usulan Pem berhentian Wakil
Presiden Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Kasus Dana Talangan (Bail
Out) Bank Century M enurut Undang-Undang D asar 1945”
*
Terdapat dua rumusan masalah dalam penulisan Skripsi ini, yakni :
pertama, apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dapat
mengusulkan pemberhentian Wakil Presiden dalam kasus dana talangan (bail out)
Bank Century menurut Undang-undang Dasar 1945, dan kedua, bagaimanakah
mekanisme pemberhentian Wakil Presiden jika yang bersangkutan melanggar
hukum. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab 2 (dua)
rumusan masalah diatas.
Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan tipe
penelitian yuridis normatif (legal research) dengan menggunakan pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach)
dan pendekatan asas-asas hukum (legal principle approach). Sumber bahan
hukum yang digunakan yaitu terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum
xiii
sekunder, dan bahan non hukum. Sedangkan analisis bahan hukum yang
digunakan adalah dengan menggunakan metode deduktif.
Kesimpulan yang diperoleh dari penulisan Skripsi ini adalah yang
pertama, UUD 1945 tidak sepenuhnya mengatur secara jelas tentang mekanisme
impeachment itu sendiri, namun Pasal 76 UUD 1945 merupakan pintu masuk
untuk melakukan proses impeachment. Mekanisme impeachment merupakan
bentuk pengawasan legislatif kepada eksekutif dalam rangka chekcs and balance
antar lembaga negara. Proses impeachment adalah diawali dari adanya dugaan
pelanggaran hukum Pasal 7A UUD 1945 yang dilakukan oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Dugaan pelanggaran tersebut selanjutnya divoting dalam sidang
paripurna. Kedua, Lembaga tinggi negara yakni MK merupakan lembaga yang
berwenang untuk mengadili, memeriksa, dan memutuskan apakah dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut
diterima atau ditolak, benar ataupun tidak. Jika diterima maka akan divonis benar
atau tidak Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.
Namun sebaliknya jika dugaan tersebut ditolak, maka kasus pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut dianggap selesai. Selanjutnya MK
menyerahkan lagi kepada DPR untuk mengajukan usul pemberhentian kepada
MPR.
Saran dari penulisan Skripsi ini adalah dugaan Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan pelanggaran Pasal 7A UUD 1945 oleh DPR sebenarnya
masih jauh dari keadilan substansial. Sebab MK hanya memutuskan dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden benar atau
tidak. Putusan MK masih diserahkan lagi kepada DPR yang notabene adalah
lembaga politik (politic institusion) yang syarat akan kepentingan. Tidak menutup
kemungkinan putusan hukum MK akan dipelintir oleh DPR. Dengan kata lain
pendapat hukum seharusnya menjadi alternatif dalam setiap persoalan, hal ini
dibutuhkan agar cita negara hukum tetap dijunjung tinggi. Dengan demikian
putusan MK langsung diserahkan kepada MPR untuk dilakukan prosesi
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diduga benar-benar
melakukan pelanggaran Pasal 7A UUD 1945.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]