dc.description.abstract | Indonesia mengatur ketentuan hukum islam melalui Instruksi Presiden
No. 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Hukum Islam (KHI). KHI lahir
sebagai pedoman dalam menyelesaikan persoalan hukum berdasarkan syariat
islam. KHI memberikan pedoman fiqih islam yang disesuaikan dengan nilai-nilai
Indonesia. Artinya ketentuan KHI telah berakulturasi dengan budaya Indonesia
sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Salah satunya adalah Pasal 209 Ayat (2)
tentang wasiat wajibah yang diberikan kepada anak angkat. Ketentuan ini
dipandang berbeda dan bertentangan dengan syara’ sebab anak angkat dinilai
tidak diperbolehkan menerima harta pewaris karena tidak memiliki hubungan
nasab. Selain itu, Indonesia membuat konstruksi hukum dengan memberikan
bagain harta peninggalan kepada ahli waris non-Muslim. Hal ini berlandasan pada
Pasal 209 Ayat (2) yang diinterpretasikan hakim untuk menemukan hukum karena
KHI belum mengatur solusi dari persoalan masyarakat. Disisi lain, putusan hakim
tersebut tidak hanya mengandung pro kontra karena memberikan wasiat wajibah
kepada non-Muslim yang seharusnya bukan lagi ahli waris. Pro kontra tersebut
juga terjadi saat hakim memberikan putusan wasiat wajibah yang berbeda-beda
pada tiap tingkatan Pengadilan. Perbedaan putusan tersebut tentunya secara tidak
langsung dapat merugikan masyarakat karena tidak adanya suatu kepastian
hukum. Terkait demikian, penulis tertarik mengangkat permasalahan ini untuk
dianalisa secara komperehensif dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk skripsi
dengan judul : Pengaturan Wasiat Wajibah Dalam Hukum Kewarisan Islam
Di Indonesia. Permasalahan dalam skripsi ini adalah apakah pemberian wasiat
wajibah berdasarkan Pasal 209 Ayat (2) Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991
tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam telah sesuai dengan prinsip
kepastian hukum dan bagaimana rekonstruksi kedepan pengaturan wasiat wajibah
di Indonesia. Metode penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan
menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Sumber bahan hukum yang digunakan meliputi bahan
hukum primer, sekunder, bahan non hukum dengan menggunakan analisa bahan
hukum sebagai langkah akhir.
Tinjauan Pustaka dalam skripsi ini dibagi menjadi dua sub bagian.
Pertama, membahas pengertian hukum waris islam, dasar hukum waris islam,
rukun dan syarat waris islam, sebab pewarisan dalam islam, dan penghalang
pewarisan. Kedua, mengenai wasiat yang dibagi menjadi pengertian wasiat dan
jenis-jenis wasiat. Penulis mengutip pengertian dan ketentuan mengenai waris
islam dan wasiat dari beberapa sumber bacaan dan peraturan perundang-undangan
yang ada di Indonesia dan negara lain sebagai bahan perpandingan. Selain itu,
penulis juga menggunakan ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits serta beberapa buku kitab fiqih yang sudah diterjemahkan kedalam
Bahasa Indonesia yang sesuai dengan topik bahasan.
Pembahasan pada skripsi ini yaitu, Pertama, menganalisis kesesuaian
Pasal 209 Ayat (2) dengan prinsip kepastian hukum. Analisis ini dilakukan
dengan mengkaji beberapa putusan MA RI tentang pemberian wasiat wajibah
xiv
diluar ketentuan yang terdapat dalam KHI. Namun, tidak komprehensifnya pasal
tersebut membuat beberapa putusan hakim berbeda dalam menentukan pemberian
wasiat wajibah. Padahal hakim menginterpretasikan Pasal 209 Ayat karena pasal
tersebut menjadi satu-satunya pasal yang mengatur tentang wasiat wajibah di
Indonesia. Terkait demikian, penulis mengkaji kesesuain Pasal 209 Ayat (2)
dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Lon L.
Fuller untuk mewujudkan hukum yang jelas, terarah dan mudah dipahami oleh
hakim sebagai ujung tombak penegakan hukum serta masyarakat. Kedua,
merekonstruksi pasal tentang pemberian wasiat wajibah di Indonesia agar sesuai
dengan konsep keadilan dan kepastian hukum. Ketentuan wasiat wajibah di
Indonesia yang berbeda dengan negara lain sejatinya diperbolehkan dan tidak
keluar dari nash Al-Quran. Indonesia mengatur ketentuan tersebut sesuai dengan
kebutuhan hukum masyarakatnya tetapi permasalahnnya adalah hukum tersebut
belum komprehensif dan jelas sehingga perlu direkonstruksi. Pasal tersebut harus
menjamin kepastian hukum bagi semua pihak terutama dengan adanya
Yurisprudensi MA yang memberikan penemuan hukum dalam menentukan
penerima wasiat wajibah selain anak angkat dan orangtua angkat.
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa, Pasal 209
KHI ayat (2) tentang wasiat wajibah untuk anak angkat belum memenuhi prinsip
kepastian hukum. Pada perkembangannya, pasal ini digunakan hakim untuk
menyelesaikan perkara dengan menginterpretasikannya untuk menemukan
hukum. Kejelasan pasal sangat berpengaruh pada hasil putusan hakim sebagai
landasan hukum tetapi karena pasal tersebut tidak mengatur secara jelas dan
memberikan gambaran terkait wasiat wajibah maka berpengaruh pada hasil
putusan yang berbeda sehingga tidak memberikan suatu kepastian. Terkait
demikian, perlu dilakukan rekonstruksi hukum dengan memberikan definisi
wasiat dan wasiat wajibah untuk memberikan gambaran umum sehingga mudah
dipahami, menetukan batasan penerima wasiat wajibah dan memisahkan buku
wasiat dari hukum waris agar penerapan hukum menjadi lebih mudah dan
terstruktur. Rekonstruksi tersebut untuk memberikan kepastian hukum dan
membantu hakim dalam menemukan hukum terhadap persoalan yang belum
memiliki aturan dalam KHI. | en_US |