Analisis Putusan Hakim Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak (Studi Putusan Nomor 208/Pid.Sus/2021/PN.Jmr)
Abstract
Di dalam kehidupan bermasyarakat, sering sekali kita melihat berbagai
macam kejahatan tindak pidana yang merugikan korbannya sehingga pelaku harus
mempertanggungjawabkan tindak pidana tersebut, salah satunya adalah terhadap
Anak dan perempuan. Anak dan perempuan sangat rawan menjadi korban kekerasan
yang terjadi di lingkungan sekitar. Macam-macam kasus kekerasan yang kerap terjadi
pada anak seperti kekerasan pada fisik, psikologis maupun kekerasan seksual.
Adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang
(selanjutnya disebut UUPA) merupakan usaha pemerintah dalam mereformasi hukum
dengan tujuan mejamin tercapainya hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang
serta bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
Permasalahan yang menjadi bahasan dalam skripsi ini, pertama, Apakah
pertimbangan hakim menjatuhkan putusan terkait persetubuhan terhadap anak pada
Putusan Nomor 208/Pid.Sus/2021/PN.Jmr telah sesuai dengan perbuatan terdakwa?
Permasalahan kedua adalah Apakah putusan hakim menjatuhkan sanksi pidana dslam
Putusan Nomor 208/Pid.Sus/2021/PN.Jmr telah memberikan perlindungan terhadap
anak sebagai korban?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor 208/Pid.Sus/2021/PN.Jmr dan
menganalisis seorang hakim dalam memutuskan penjatuhan sanksi pidana apakah
telah sesuai dengan fakta persidangan atau tidak. Kedua permasalahan tersebut akan
dianalisis oleh penulis menggunakan tipe penelitian yuridis normatif untuk menelaah
suatu aturan hukum tersebut sesuai dengan norma hukum yang berlaku, konsep teori
yang dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dikaji dalam penulisan skripsi
ini. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisis bahan hukum yang digunakan
oleh penulis yakni menggunakan metode deduktif yang dimana pengambilan
kesimpulan dari pembahasan yang sifatnya umum menjadi suatu pembahasan yang
bersifat khusus sehingga jawaban dari rumusan masalah tersebut dapat ditetapkan dan
penulis dapat memberikan preskripsinya mengenai apa yang seharusnya dapat
diterapkan.
Dengan memperhatikan Putusan nomor 208/Pid.Sus/2021/PN.Jmr, terdakwa
harus memenuhi keseluruhan unsur-unsur pasal yang sesuai dengan perbuatan terdakwa bentuk dakwaan alternatif yang dipergunakan sudah sesuai, namun dalam
fakta persidangan untuk pertimbangan hakim tidak semuanya telah terungkap. Fakta
yang terungkap hanya fakta yang sebenarnya telah terbukti kebenarannya. Untuk saat
ini undang-undang yang mengatur tentang pelaku seksual menyimpang masih dalam
tahap penyusunan RUU KUHP namun dapat dikaitkan dengan Pasal 285 dan 287
Ayat (1) KUHP, seharusnya perbuatan terdakwa terhadap korban (anak)
mendapatkan hukuman pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun. Karena korban
sendiri masih dikategorikan sebagai Anak dan usia korban (anak) tersebut berada
dibawah 15 tahun atau lebih tepatnya masih berusia 13 tahun. Pengertian dari
persetubuhan seiring dengan perkembangan zaman telah dijelaskan dalam RUU
KUHP pada Pasal 477 ayat (3) bahwa pengertian persetubuhan tidak hanya masuknya
alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan saja, melainkan memasukkan alat
kelamin atau benda-benda lain ke dalam anus juga termasuk dalam persetubuhan.
Pada Pasal 477 ayat (1) dan ayat (4) tersebut juga dijelaskan mengenai hukuman yang
didapatkan bagi pelaku persetubuhan tersebut adalah pidana penjara selama 12 tahun,
bahkan jika korban tersebut masih dikatakan usia anak, hukuman yang diperoleh
adalah 15 tahun penjara. Untuk persoalan meminum-minuman keras yang dilakukan
oleh pelaku terhadap korban anak juga diatur dalam RUU KUHP pada Pasal 427 ayat
(2) bahwa seseorang yang melakukan hal tersebut terhadap anak akan mendapatkan
pidana penjara paling lama 2 tahun. Seks melalui anal atau dubur yang telah
dilakukan oleh pelaku terhadap korban anak dalam kasus yang sedang dibahas ini
memiliki dampak yang sangat buruk terhadap kesehatan. ukum pidana positif yang
berlaku di Indonesia pada saat ini masih memberikan perlindungan yang abstrak
kepada korban. Arti dari pernyataan tersebut adalah pada hakekatnya telah ada
perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi
korban. Perlindungan korban yang berupa kerugian materiil dapat dituntut langsung
kepada si pelaku, namun apabila pelaku tidak mampu untuk mengganti kerugian
tersebut maka dibebankan kepada negara. Dalam hal ini seharusnya perlindungan
terhadap korban yang dapat dilakukan dari si pelaku adalah memberikan upaya
restitusi terhadap korban yang dibayarkan sendiri oleh pelaku karena disini korbanlah
yang mendapatkan kerugian terbesar.
Pada kasus persetubuhan terhadap anak putusan nomor
208/Pid.Sus/2021/PN.Jmr ini, Hakim seharusnya dapat bertindak secara arif dan
bijaksana dalam menggali fakta persidangan yang digunakan dalam pertimbangan
hakim sesuai dengan hati nuraninya. Hakim lebih mencermati kembali mengenai
fakta yang terungkap didalam persidangan. Hakim dalam menjatuhkan pidana harus
memberikan keadilan dengan pertimbangan hukumnya karena hukum memiliki
fungsi untuk memberikan perlindungan bagi kepentingan masyarakat sehingga
hukum tersebut harus dijunjung tinggi demi terciptanya kehidupan masyarakat yang
tertib, aman dan damai. Terutama terhadap korban anak yang memiliki psikis belum
stabil butuh adanya bantuan untuk menyembuhkan rasa trauma, takut dan malu akan
hal yang telah terjadi.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]