dc.description.abstract | Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik telah hadir
sebagai upaya pelembagaan partai politik dalam kehidupan demokrasi.
Kemandirian partai politik menjadi salah satu hal penting yang diaturnya.
Pengelolaan internal partai dibuat agar bebas dari intervensi pihak manapun,
termasuk dalam hal mengelola konflik/perselisihan di internalnya. Untuk itulah
dalam UU tersebut diatur mengenai penyelesaian perselisihan internal dan
kelembagaan mahkamah partai politik, sebagai lembaga yang berwenang untuk
menyelesaikan perselisihan internal partai. Kendati sudah ada pengaturannya,
kasus penyelesaian perselisihan internal partai justru masih ada yang berlarut-larut
dan menghabiskan banyak waktu serta biaya. Hal ini disebabkan pengaturannya
yang masih kabur dan terdapat norma yang ambivalen hingga membawa dampak
multitafsir. Kedudukan mahkamah partai politik dalam UU tersebut pun tidak
mendapat kepastian. Contoh kasus bisa dilihat dari apa yang telah dialami Partai
Golkar.
Pada tahun 2014, Partai Golkar mengalami perselisihan internal partai
politik. Partai Golkar terbelah menjadi dua kubu yang saling mengklaim
keabsahan kepengurusan. Aburizal Bakri sebagai Ketua Umum
menyelenggarakan MUNAS di Bali, sedangkan Agung Laksono yang membentuk
Tim Penyelemat Partai Golkar menyelenggarakan MUNAS di Jakarta. Keduanya
saling mengajukan pengesahan kepengurusan di Kementrian Hukum dan HAM.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, Partai Golkar mengalami
perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Jenis perselisihan ini bersifat
faksional dan sangat berdampak secara keorganisasian partai. Upaya penyelesaian
perselisihan dilakukan melalui mahkamah partai politik maupun peradilan umum.
Penyelesaian mulanya dilakukan melalui Mahkamah Partai Golkar (MPG).
Namun, penyelesian tidak tercapai. Sehingga mahkamah Partai Golkar dianggap
tidak dapat menyelesaikan perselisihan. Dalam putusan MPG pun terjadi
dissenting opinion sehingga putusan menjadi kabur. Terlebih, salah satu hakim
MPG yakni Aulia A. Rachman tidak memberikan pendapat karena tidak hadir.
Maka, hakim MPG berjumlah genap. Dua hakim berpendapat penyelesaian harus
menempuh proses hukum (peradilan umum), dan dua lainnya menyatakan
MUNAS Jakarta yang sah dengan syarat harus kembali menggelar MUNAS pada
tahun 2016 mendatang. Keputusan MPG yang demikian bersifat samar dan
menimbulkan multitafsir dari berbagai pihak. Hakim Mahkamah Partai Golkar
pun juga partisan. Selain itu, MPG dalam peraturan internal partai, kedudukannya
berada dalam subordinasi DPP. Penyelesaian persilihan menempuh jalan panjang
dari berbagai pengadilan dan memakan banyak waktu. Oleh karenanya penulis
tertarik meneliti kedudukan mahkamah Partai Golkar dalam penyelesaian
perselisihan internal partai.
Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk mengetahui kedudukan
mahkamah partai politik di Indonesia dalam Undang-Undang. Kemudian untuk
memberikan justifikasi kedudukan kelembagaan mahkamah Partai Golkar pada
Undang-Undang dan Peraturan Internal Partai Golkar dalam penyelesaian
perselisihan internal partai.
Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian
yuridis normatif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan
undang-undang, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Metode dalam
pengumpulan bahan hukum, penulis menggunakan dua sumber bahan hukum,
yang pertama yaitu sumber bahan hukum primer . Sumber bahan hukum ini
berasal dari peraturan perundang-undangan, dan yang kedua yaitu sumber bahan
hukum sekunder yang sumber bahan hukum ini berasal dari buku-buku hukum
dan teori ahli, peraturan internal partai, dan beberapadokumen, kemudian
melakukan analisa bahan hukum.
Hasil dari penelitian ini adalah, kedudukan mahkamah partai politik dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tidak jelas, pengaturannya masih terlalu
sederhana. Pengaturan mahkamah partai tidak jelas mulai dari definisinya, segi
pembentukannya, pertanggungjawabannya, legalitas dan hakim mahkamah partai
politik, susunan dan kedudukan mahkamah partai politik, hingga prosedur
beracaranya. Norma dalam Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 juga terdapat kerancuan dan bersifat ambivalen. Model pengaturan
tersebut mengaburkan kedudukan mahkamah partai politik. Hal ini membawa
dampak penyelesaian perselisihan internal partai politik menjadi tidak efektif dan
efisien.
Kemudian, kedudukan mahkamah Partai Golkar tidak memiliki cukup
justifikasi dalam penyelesaian perselisihan internal partai. Kedudukannya tidak
menunjang penyelesian melalui Mahkamah Partai Golkar menjadi mungkin.
Dalam peraturan internal, AD/ART tidak memuat kelembagaan mahkamah partai.
Sedangkan pada peraturan organisasi, mahkamah partai berada dalam subordinasi
DPP, dan para hakimnya rangkap jabatan serta partisan. Terdapat ketidaksesuaian
pengaturan dalam undang-undang dengan pengaturan di internal partai. Hakim
tidak dapat mengambil putusan dan Mahkamah Partai Golkar tidak dapat
menyelesaikan perkara. Kasus Golkar membuktikan bahwa manajemen
penyelesaian perselisihan internal partai politik kita bertentangan dengan asas asas hukum | en_US |