Perlindungan Hukum Bagi Anak Sebagai Pelaku dan Korban Tindak Pidana Persetubuhan
Abstract
Sebagai generasi muda yang masih mengalami sebuah periode transisi baik
dalam segi fisik, psikologis, emosional, dan sosial, anak memerlukan sebuah
perhatian khusus yang dapat memperhatikan tumbuh kembang serta kehidupan di
masa depan. Namun terkadang dikarenakan usia yang masih muda dengan
perkembangan jiwa dan mental yang labil, serta kondisi sosial maupun kurangnya
kasih sayang dan bimbingan orang tua, membuat beberapa anak salah dalam
mengambil langkah sehingga harus berada di sebuah kondisi yang dapat
menjadikannya sebagai seorang pelaku dan/atau seorang korban seperti pada
kasus tindak pidana kekerasan seksual.
Munculnya kondisi tersebut apabila didasarkan dengan penelitian huku
m
normatif dan dikaitkan dengan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada
pelaku anak seperti yang tercantum pada putusan pengadilan No.
3/Pid.Sus/2013/PN.Pt; dan putusan pengadilan No. 1/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Pts;
yang pada intinya menjatuhkan hukuman materil kepada pelaku anak berupa
ancaman pidana kumulatif berupa penjara dan denda yang dapat dikonversi
dengan pidana kurungan, maka akan ditemukan beberapa permasalahan hukum
yaitu mengenai pengaturan penjatuhan sanksi pidana denda yang dikonversi
dengan pidana kurungan yang dijatuhkan kepada pelaku anak jika dikaitkan
dengan Pasal 71 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, dan pengaturan perlindungan hukum terhadap Anak
sebagai Korban Tindak Pidana Persetubuhan jika dilihat dalam Hukum Pidana
Positif di Indonesia.
Selanjutnya untuk menyelesaikan beberapa permasalahan hukum tersebut
maka diperlukan beberapa solusi yang dapat untuk diterapkan, seperti: Pertama
dalam menentukan apakah pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana denda
yang dikonversi dengan pidana kurungan yang dijatuhkan kepada pelaku anak pada kedua putusan pengadilan yang telah disebutkan sebelumnya dapat
dinyatakan sesuai atau tidak sesuai jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 71 Ayat
(3) UU SPPA, maka diperlukan putusan pengadilan lain dengan pengaturan
penjatuhan hukuman pengganti dari denda yang berbeda dengan putusan
pengadilan yang telah disebutkan sebelumnya, seperti yang tercantum pada
putusan pengadilan No. 5/Pid.Sus-Anak/2020/PN. Amt; dan putusan pengadilan
No. 11/Pid.Sus-Anak/2020/PN. Pmn; agar nantinya dapat dilakukan perbandingan
dan pengkajian untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang ada, dan dengan
mempertimbangkan pula asas pemidanaan anak serta tujuan dari pemidanaan anak
didalamnya; Kedua untuk mengetahui bagaimana pengaturan perlindungan
hukum terhadap anak korban jika dilihat dalam hukum positif di Indonesia, maka
diperlukan untuk terlebih dahulu mengetahui terkait apa saja bentuk dari
perlindungan hukum terhadap anak korban yang tercantum di peraturan
perundangan serta bagaimana pengaplikasiannya dalam melindungi hak anak
korban yang sedang berhadapan dengan hukum. Hal ini karena tidak semua
bentuk dari pengaturan perlindungan hukum khususnya yang secara langsung
seperti pemberian hak restitusi anak korban tidak dapat diterapkan secara
maksimal, dengan alasan terdapat ketidakmampuan pada diri pelaku anak atau
pihak keluarganya untuk membayarkan restitusi, serta tidak terdapat penjatuhan
hukuman kepada pelaku anak yang dapat sekaligus menjadi solusi untuk
mengatasi kendala terhambatnya pemberian hak restitusi anak korban sehingga
program rehabilitasi dan proses pemulihan keadaan anak korban paskah terjadinya
tindak pidana dengan pengawasan para ahli juga menjadi terhambat.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]