Show simple item record

dc.contributor.authorYUSMAN, Flora Elfrida Justitia
dc.date.accessioned2023-03-20T02:34:10Z
dc.date.available2023-03-20T02:34:10Z
dc.date.issued2023-01-05
dc.identifier.nim180710101289en_US
dc.identifier.urihttps://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/113085
dc.description.abstractKeterangan saksi dalam pemeriksaan perkara pidana harus didasarkan pada apa yang ia lihat, dengar dan alami sendiri, sehingga sangat penting untuk mengungkap kebenaran suatu tindak pidana serta menemukan pelakunya. Guna mengukuhkan keterangannya dan meminimalkan kemungkinan saksi berbohong, maka saksi diberikan kewajiban untuk mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberikan keterangan. Namun, masih ditemukan saksi yang memberikan keterangan palsu di persidangan. Dalam mengahadapi hal demikian, KUHAP mengaturnya dalam Pasal 174 yang terdiri dari 4 (empat) ayat, yang memberikan wewenang kepada Hakim Ketua Sidang untuk memperingatkan saksi yang keterangannya disangka palsu serta memerintahkan penahanan dan penuntutan dengan dakwaan sumpah palsu terhadap saksi yang tetap pada keterangannya setelah diperingatkan. Untuk menyangka keterangan saksi adalah palsu, KUHAP tidak mengatur lebih lanjut mengenai indikator yang dapat digunakan oleh Hakim. KUHAP juga mengatur bahwa proses pemeriksaan perkara pidana diawali dengan proses penyelidikan, penyidikan terlebih dahulu sebelum melakukan penuntutan sementara Pasal 174 KUHAP mengatur bahwa terhadap saksi yang diduga memberikan keterangan palsu dapat langsung dilakukan penuntutan. Berdasarkan uraian singkat latar belakang diatas, permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah pertama, apakah indikator yang dapat digunakan hakim di persidangan untuk menetapkan keterangan seorang saksi adalah palsu ditinjau dari KUHAP? dan yang kedua, bagaimanakah proses penuntutan terhadap seorang saksi yang memberikan keterangan palsu di bawah sumpah di persidangan sebagaimana Pasal 174 KUHAP? Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji dan menganalisa indikator yang dapat digunakan hakim di persidangan untuk menetapkan keterangan seorang saksi adalah palsu ditinjau dari KUHAP dan proses penuntutan terhadap seorang saksi yang memberikan keterangan palsu di bawah sumpah di persidangan sebagaimana Pasal 174 KUHAP. Metode penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach). Bahan hukum yang digunakan yakni bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum, sedangkan metode analisis yang digunakan adalah metode deduktif. Hasil dari penelitian ini adalah, yang pertama, setidaknya harus terpenuhi 2 (dua) indikator di bawah untuk menilai keterangan saksi adalah palsu, dimana indikator dirumuskan setelah memperdalam aturan dalam KUHAP, melihat pelaksanaannya dalam beberapa putusan serta melakukan wawancara dengan praktisi, antara lain: a) terdapat perbedaan antara keterangan dalam BAP dengan keterangan yang diberikan di persidangan; b) keterangan yang saksi berikan tidak bersesuaian dengan keterangan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi lain yang juga diberikan di bawah sumpah, kecuali terhadap perkara kekerasan seksual atau pembunuhan yang biasanya hanya terdapat saksi korban; c) keterangan yang saksi berikan tidak bersesuaian dengan alat bukti lain (keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa) yang didukung alat bukti lain, bersesuaian dengan fakta persidangan dan diyakini oleh Hakim; d) terdapat hubungan kerja antara Terdakwa dan Saksi; serta e) saksi gugup, grogi, berbelit-belit dan tidak konsisten dalam memberikan keterangan meskipun penggunaan bahasa yang digunakan aparat penegak hukum telah disesuaikan dengan latar belakang saksi dan terdakwa telah dikeluarkan dari ruang sidang apabila saksi merasa tertekan dengan hadirnya terdakwa. Kedua, proses penuntutan terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu tidak diatur secara jelas dan rinci dalam KUHAP sehingga menimbulkan kebingungan pada aparat penegak hukum. Terdapat 2 (dua) pendapat mengenai hal tersebut, yang pertama adalah proses penuntutan dapat langsung dilakukan tanpa melalui penyidikan terlebih dahulu, dengan penetapan Hakim dan Berita Acara Sidang sebagai dasar penuntutan dan kedua tetap harus dilakukan penyidikan terlebih dahulu karena penetapan Hakim dan Berita Acara Sidang tidak cukup sebagai dasar penuntutan. Maka dari itu, perlu adanya suatu aturan lebih lanjut untuk menghindarkan Hakim hanyut dalam penilaian yang subjektif dan terbawa perasaan dalam menilai keterangan saksi adalah palsu serta meminimalkan perbedaan pelaksanaan penuntutan terhadap saksi tersebut.en_US
dc.description.sponsorshipEchwan Iriyanto, S.H., M.H. Samuel Saut Martua Samosir, S.H., M.H.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Hukumen_US
dc.subjectKeterangan Saksien_US
dc.subjectPalsuen_US
dc.subjectProses Penuntutanen_US
dc.titleProses Penuntutan Terhadap Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu di Bawah Sumpah di Persidangan Perkara Pidanaen_US
dc.typeSkripsien_US
dc.identifier.pembimbing1Echwan Iriyanto, S.H., M.H.en_US
dc.identifier.pembimbing2Samuel Saut Martua Samosir, S.H., M.H.en_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record