Akibat Hukum Wanprestasi Lessee dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha (Studi Putusan Nomor 690/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel)
Abstract
Dalam rangka menyokong pemerataan pembangunan perekonomian nasional,
dibutuhkan modal yang tidak sedikit. Kemudian pemerintah sebagai regulator
memberikan solusi dengan memerkenalkan lembaga pembiayaan sewa guna usaha
(leasing). Hubungan hukum yang terjadi antara pihak – pihak dalam perjanjian
sewa guna usaha adalah hubungan timbal balik dan ketika salah satu prestasi tidak
dapat terpenuhi oleh salah satu pihak, maka dapat menimbulkan sengketa
wanprestasi. Dalam praktek, seringkali dilakukan oleh pihak lessee yang
menimbulkan kerugian bagi pihak lessor. Sehingga untuk melindungi pihak
lessor, lessee memiliki tanggung jawab hukum yang harus ia penuhi apabila
terjadi wanprestasi. Dalam contoh kasus ini penulis menganalisa kembali putusan
Nomor 690/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel antara PT. ITC Auto Multi Finance melawan
Erick Rusmin.
Adapun tujuan penulisan ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Sedangkan
manfaat dalam penulisan ini terdiri atas manfaat teoretis dan manfaat praktis.
Dengan menggunakan penelitian hukum normatif (doktrinal) yang dielaborasikan
dengan pendekatan perundang – undangan dan pendekatan konseptual, serta
penggunaan bahan hukum primer, sekunder, dan bahan non-hukum untuk
selanjutnya dianalisa secara deduktif-induktif, penelitian ini menemukan
permasalahan – permasalahan, antara lain : apa tanggung jawab hukum lessee
yang tidak memenuhi prestasi pada perjanjian sewa guna usaha dan apakah
pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 690/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel telah
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikemukakan bahwa ketika lessee
wanprestasi dalam perjanjian sewa guna usaha, maka ia memiliki tanggung jawab
hukum yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam perjanjian yang telah
disepakati yaitu dengan tuntutan pemenuhan perikatan, ganti kerugian,
pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian, pembatalan persetujuan timbal balik,
dan pembatalan dengan ganti kerugian. Sekaligus ancaman dikenakannya sanksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 1237 ayat 2, Pasal 1243-1252, Pasal 1266 KUH
Perdata dan Pasal 181 ayat 1 HIR, yaitu dengan membayar ganti rugi kepada
pihak yang dirugikan berupa biaya rugi dan bunga, pembatalan perjanjian,
peralihan resiko, atau membayar biaya perkara di pengadilan.
Dari kesimpulan tersebut terdapat beberapa saran sebagai berikut : setiap
perjanjian sewa guna usaha harus memuat ketentuan dan keterangan secara rinci,
terutama terkait dengan tanggung jawab para pihak atas barang modal yang
disewa usahakan. Sedangkan, dalam pelaksanaannya harus berdasarkan pedoman
dalam buku III KUH Perdata. Selain itu, hakim dalam memutus suatu sengketa
hendaknya selalu berpedoman pada aturan perundang – undangan yang ada dan
prinsip kebebasan dalam bentuk kemandirian dan kemerdekaan peradilan
sehingga tercipta putusan yang bersifat objektif dan imparsial.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]