dc.description.abstract | Kemajuan Teknologi mendorong seseorang untuk dapat mengklasifikasikan kasus
yang terjadi, yang menjadi sorotan akhir-akhir ini yakni banyaknya permasalahan
mengenai gangguan preferensi seksual yang sebagian besar korbannya adalah anak atau
dikenal dengan istilah Pedofilia. UUPA tidak mengenal istilah pedofilia sebagai
suatu kejahatan yang dilakukan karena adanya gangguan psikologis dan justru
UUPA ini menjadikan diaturnya pemberatan hukuman dan diaturnya hukuman
tambahan bagi pelaku kejahatan terhadap anak berupa penambahan pidana penjara
menjadi 20 tahun, seumur hidup, hukuman mati dan hukuman tambahan berupa
sanksi tindakan yakni kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku, pemasangan
chip atau alat deteksi elektronik untuk pelaku dan juga rehabilitasi. Selain itu
UUPA sendiri juga telah memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap
korban. Namun segala ketentuan dalam UUPA ini tidak berimplikasi pada
pelaksanaan putusan yakni Putusan Nomor 60/Pid.Sus/2018/PN.Gst atas nama
Terdakwa AL, S.Pd.K yang terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 82 ayat
(2) UUPA. Tujuan penulisan skripsi ini ialah pertama, untuk menjelaskan
kesesuaian pemidanaan tehadap pelaku orang dengan pedofilia dan keseimbangan
perlindungan terhadap korban dalam Putusan Nomor 60/Pid.Sus/2018/PN.Gst
dengan UUPA.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian pendekatan undang undang dan pendekatan konseptual. Tipe penelitian yang digunakan adalah
Yuridis Normatif. Bahan hukum yang digunakan menggunakan bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian dari skripsi ini adalah Putusan Nomor
60/Pid.Sus/2018/PN.Gst belum berorientasi pada teori individualisasi pidana.
Berdasarkan pemeriksaan persidangan Terdakwa AK, S.Pd.K terbukti melakukan
tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 82 ayat (2) UUPA dan dijatuhi pidana
penjara selama 9 tahun dan denda sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah), namun berdasarkan fakta persidangan, terdakwa AK mengidap penyakit
preferensi seksual dimana hasil dalam pemeriksaan Visum Psikiatri Nomor:
R/VERP/12/X/2017/Rs.Bhayangkara merupakan seorang pedofilia. Perubahan
kedua dalam UUPA ini dibuat untuk mengatasi fenomena kekerasan terhadap
anak agar dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan mencegah terjadinya
kekerasan seksual, sehingga pada pelaku tindak pidana pencabulan diatur
mengenai sanksi tambahan dalam Pasal 82 ayat (6) berupa rehabilitasi dan
pemasangan alat pendeteksi elektonik. Ide double track system ini dapat
diterapkan pada Terdakwa AL, S.Pd.K yakni disamping dijatuhi sanksi pidana
penjara terhadap pelaku juga dapat dikenai sanksi tindakan seperti yang telah
diatur dalam UUPA. Dengan demikian tujuan pemidanaan menurut Prof. Eddy
dan RKHUP dan dengan demikian tujuan efektifitas dalam pengenaan sanksi
terhadap pelaku pedofilia dapat tercapai. Kedua, Pemidanaan dalam Putusan Nomor 60/Pid.Sus/2018/PN.Gst hanya memberikan perlidungan yang sifatnya
abstrak kepada Anak Korban dalam bentuk penjatuhan pidana terhadap Terdakwa
AL, S.Pd.K, sementara apabila mengacu pada ketentuan Pasal 69AUUPA dan
Pasal 71D, bentuk perlindungan khusus telah diatur secara substansial.
Saran yang dapat digunakan sebagai bahan masukan dari penulis mengenai
permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, seyogyanya para penegak hukum
dalam proses penyelesaian perkara pencabulan oleh pelaku orang dengan pedofilia
harus memperhatikan keadaan dari pelaku atau dikenal dengan teori
individualisasi pidana dan harus berorientasi pada keseimbangan kepentingan
korban dan pelaku dimana terhadap pelaku orang dengan pedofilia selain dipidana
dapat dikenai sanksi tindakan, karena pengenaan pidana yang lama terhadap
penderita pedofilia ini tidak akan mengubah hasrat seorang penderita. Sesuai
dengan tujuan upaya perlindungan hukum kepada Anak Korban yang sifatnya
abstrak dan konkrit. Hak-hak korban seyogyanya juga diberikan tidak hanya
melalui putusan pengadilan namun pada proses peradilan, pemberian
perlindungan dan pendampingan pada saat pemeriksaan mulai dari penyidikan
hingga pemeriksaan sidang pengadilan dan juga upaya setelah terjadinya tindak
pidana baik melalui upaya rehabilitasi atau konseling atas tindak pidana yang
telah dialami korban, selain itu juga melalui pendampingan psikososial pada saat
pengobatan hingga pemulihan dan pemberian restitusi yang berhak untuk
didapatkan oleh korban. Peran penegak hukum dalam rangka sosialisasi serta
implementasi terhadap hak-hak korban sangat diperlukan agar penanganan
perlindungan terhadap anak bisa dilakukan secara maksimal. | en_US |