Disparitas Putusan Hakim Dalam Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kepemilikan Satwa Yang di lindungi (Kajian Putusan Nomor 18/Pid.b/Lh/2019/PN.krs dan Nomor 2927/Pid.b/Lh/2019/PN.mdn).
Abstract
Disparitas pidana (disparity of sentencing) merupakan penerapan pidana 
yang berbeda atau tidak sama terhadap tindak pidana yang sifatnya berbahaya jika 
dapat diperbandingkan tanpa ada dasar pembenar yang jelas. Perbedaan dalam 
penerapan pidana ini dapat mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga peradilan berkurang serta terdakwa dapat memperbandingkan 
pidana yang ia peroleh dengan terdakwa lain atas tindak pidana yang serupa. 
Putusan Nomor 18/Pid.B/LH/2019/PN.Krs dengan Terdakwa JR telah melakukan 
tindak pidana memelihara satwa liar yang dilindungi oleh Undang-undang yaitu 
seekor Binturung (atau sejenis musang besar) sejumlah 6 ekor, majelis hakim 
menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan denda sebesar Rp.3.000.000 
(tiga juta rupiah) serta menetapkan 6 (enam) ekor Binturung diserahkan kepada 
BKSDA Jawa timur untuk dilepasliarkan. Putusan Nomor 
2927/Pid.B/LH/2019/PN.Mdn dengan terdakwa AR tekah melakukan tindak 
pidana memelihara satwa liar yang dilindungi oleh Undang-undang yaitu seekor 
Binturung (atau sejenis musang besar) sejumlah 3 ekor, majelis hakim 
menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan dan denda sebesar 
Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) serta menetapkan 3 (tiga) ekor binturung
untuk dilepasliarkan dengan cara diserahkan ke BKSDA. Terdapat perbedaan 
penjatuhan pidana terhadap kedua putusan diatas yang mana tindak pidananya 
sama memelihara satwa liar yang dilindungi oleh Undang-undang yaitu seekor 
binturung. Tujuan penulisan skripsi ini guna menganalisis terjadinya disparitas 
berdasarkan pertimbangan hakim penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak 
pidana dengan sengaja memiliki dan memelihara satwa yang dilindungi dalam 
keadaan hidup dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang menyebabkan 
terjadinya disparitas dalam Putusan Nomor 18/Pid.B/LH/2019/PN.Krs Dan Nomor 
2927/Pid.B/LH/2019/PN.Mdn.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
penelitian hukum (legal reseach). Penulis menggunakan metode penelitian dalam 
skripsi ini dengan pendekatan undang-undang (statuta approach), pendekatan 
konseptual (conseptual approach) serta pendekatan kasus (case approach) dengan 
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisa bahan penelitian dalam 
skripsi ini menggunakan normatif kualitatif dan untuk menarik kesimpulan dari 
hasil penelitian ini penulis menggunakan metode analisa bahan hukun deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat perbedaan pertimbangan hakim 
yang terletak pada keterangan Terdakwa, saksi dan peraturan perundang-undangan 
pidana yang menyebutkan pada putusan 1 bahwasannya dalam pertimbangan 
hakimnya menyatakan Terdakwa berusaha melakukan pengurusan izin 
pemeliharaan atas binturung ke BKSDA tetapi pengurusan izinnya belum selesai 
hingga pada saat tertangkapnya terdakwa belum mempunyai izin pemeliharaan atas 
binturung tersebut. Dari hasil analisa putusan tersebut sangat tidak tepat apabila 
dijadikan suatu pertimbangan hakim karena berdasarkan fakta yang terungkap 
dalam persidangan yaitu keterangan saksi-saksi menyatakan pernah mengajukan 
izin pemeliharan akan tetapi selalu dikembalikan, keterangan tersebut menandakan 
bahwasanya ijin pemeliharaannya tidak memehuni syarat yang tertuang dalam Pasal 76 Ayat (2) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.69/Menhut-II/2013 
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.19/Menhut II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar dan jika dilihat dari Pasal 
76 ayat (4) Permenhut P.69 tahun 2013 terdapat ketentuan bahwasannya 
kelengkapan permohonan izin dapat diketahui apakah izin pemeliharaannya 
ditolak atau disetujui yaitu selambat-lambatnya 27 hari kerja setalah permohonan 
dan kelengkapan diterima. Oleh karena itu hakim seharusnya bukan menjadikan 
ini sebagai dasar petimbangan karena memang permohonan izin pemeliharaannya 
tidak diketahui apakah diproses atau tidak. sehingga mengakibatkan terjadinya 
disparitas pertimbangan hakim dan terjadinya penerapan sanksi pidana terpaut jauh 
antara Putusan 1 dan Putusan 2, Dalam Putusan 1 Terdakwa memelihara 6 (enam) 
ekor binturung tanpa adanya surat izin pemeliharaan dan penangkaran dari 
BKSDA. Terdakwa dijatuhi pidana yaitu Pidana penjara 3 (tiga) bulan dan Pidana 
denda Rp.3.000.000 (tiga juta rupiah) dan 6 ekor binturungnya diserahkan ke 
BKSDA Jawa Timur untuk dilepasliarkan. Sedangkan dalam Putusan Kedua 
Terdakwa memelihara 3 (tiga) ekor binturung tanpa adanya surat izin pemeliharaan 
dan penangkaran dari BKSDA. Terdakwa dijatuhi pidana yaitu Pidana penjara 1 
(satu) tahun 2 (dua) bulan dan Pidana denda Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) 
dan ke 3 (tiga) binturung tersebut diserahkan ke BBKSDA untuk dilepasliarkan. 
Disparitas pidana pada Putusan 1 dan Putusan 2 dipengaruhi oleh beberapa faktor 
yaitu Pertama, faktor yang berasal dari majelis hakim yang bersifat eksternal 
maupun internal. Kedua, faktor hukum yang berasal dari hukum pidana Indonesia 
dimana hakim diberikan kehendak kebebasan untuk menentukan dan memilih jenis 
pidana yang dikehendakinya serta ketentuan pidana yang ada hanya mengatur 
maksimum saja. Ketiga, faktor usia pelaku yang dipertimbangkan oleh majelis 
hakim karena masih cukup muda untuk melakukan suatu hal yang produktif dan 
melanjutkan kehidupan dimasyarakatnya. Keempat, faktor perilaku Terdakwa 
merupakan menjadi pertimbangan yang sangat diperhatikan dalam persidangan 
apakah terdakwa tersebut berprilaku baik atau buruk dan itu sangat menetukan 
penjatuhan hukuman oleh majelis hakim.
Collections
- UT-Faculty of Law [6385]
