dc.description.abstract | Kekayaan alam yang paling banyak diinginkan oleh seluruh umat manusia untuk
dimiliki secara pribadi adalah tanah. Kebutuhan tanah semakin meningkat seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan lain yang
bertitik berat pada bidang ekonomi, dimana membutuhkan penyediaan dana yang
cukup besar. Sehingga membutuhkan lembaga jaminan yang mampu memberi
ketetapan hukum serta dapat mendorong peningkatan masyarakat dalam
pembangunan. Namun dalam perkembangan hak-hak atas tanah, tidak selalu
diiringi dengan pemanfaatan tanah yang sesuai dengan sifat dan tujuan hak atas
tanah, maka hak-hak atas tanah tersebut dapat dijadikan jaminan utang yang
dibebani hak tanggungan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3632) selanjutnya disingkat UUHT. Hak tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah adalah hak jaminan
yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Pada
Pasal 4 UUHT, tanah yang dapat dijadikan jaminan utang adalah : Tanah Hak
Milik, Tanah Hak Guna Usaha, Tanah Hak Guna Bangunan, dan Tanah Hak Pakai
atas Tanah Negara.
Agunan merupakan salah satu unsur jaminan kredit agar perbankan dapat
memperoleh tambahan keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan
utangnya. Namun sebagian besar masyarakat tidak memahami tentang hak
tanggungan dan mengenai isi dari perjanjiannya. Oleh karena itu, dalam skipsi ini
penulis lebih mengutamakan mengkaji tentang pembebanan dengan hak
tanggungan terhadap hak milik atas tanah yang belum bersertifikat.
Permasalahan yang kemudian dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana tata
cara pembebanan hak milik atas tanah yang belum bersertifikat dengan hak
tanggungan dan apa aturan hukum yang berlaku apabila di atas tanah milik yang
diagunkan terdapat bangunan dan tanaman. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui dan memahami terkait pembebanan hak tanggungan terhadap objek
tanah yang belum bersertifikat dan aturan hukum apa yang berlaku apabila di atas
tanah yang diagunkan terdapat bangunan rumah dan tanaman. Metode penelitian
dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau normanorma dalam hukum positif yang berlaku. Tinjauan pustaka dalam penulisan
skripsi ini adalah Penguasaan Hak Atas Tanah, Hak Milik Atas Tanah, Hak
Tanggungan Atas Tanah, Sertifikat, dan Asas Hubungan Antara Tanah dan
Bangunan.
Pokok pembahasan adalah Hak Tanggungan digunakan untuk menjamin
pelaksanaan prestasi dalam perjanjian kredit. Pada umumnya perjanjian kredit
dibuat dalam bentuk baku, karena dibuat oleh salah satu pihak dalam perjanjian.
Perjanjian kredit biasanya dibuat oleh pihak bank sebagai kreditur.
Terhadap tanah yang belum bersertifikat juga dapat dibebankan Hak Tanggungan
sepanjang pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan bersamaan dengan
permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Pembebanan Hak
Tanggungan terhadap tanah yang belum bersertifikat tidak pernah dilakukan bank
dengan pembuatan APHT secara langsung, melainkan bank hanya membuat
SKMHT saja. Dikarenakan tanah yang belum terdaftar terdapat kemungkinan
belum jelas kepemilikannya. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat
(3) UUHT.
Pengaturan di dalam undang-undang menjadi salah satu upaya untuk memberikan
kepastian hukum dalam rangka perlindungan hukum yang seimbang bagi para
pihak dalam suatu hubungan hukum. Pengaturan pembebanan hak milik atas tanah
dengan hak tanggungan khususnya terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3 UUHT.
Aturan hukum yang berlaku apabila di atas tanah (milik) yang diagunkan terdapat
bangunan dan tanaman berlaku asas pemisahan horizontal (Horizontale
Scheiding). Hal ini sesuai dengan hukum pertanahan nasional yang berdasar
hukum adat, dimana UUHT juga didasarkan atas hukum adat. Namun, dalam
penrepan hukumnya tidak menerapkan asas pemisahan horizontal secara mutlak,
pengaturan pembebanan hak atas tanah dengan hak tanggungan yaitu berdasar
asas perlekatan. Dalam asas perlekatan, bangunan dan tanaman yang beridiri di
atas tanah merupakan satu kesatuan, dan tentunya bangunan dan tanaman tersebut
bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan sendirinya penguasaan atas tanah
juga meliputi penguasaan atas bangunan dan tanaman yang terdapat diatasnya
serta perbuatan hukum yang mengenai tanah juga dengan sendirinya akan
meliputi bangunan dan tanaman yang berada diatasnya. Hal tersebut dikarenakan
bank tidak mau mengambil resiko apabila terjadi kendala di kemudian hari.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa tata cara pembebanan
tanah (milik) yang belum bersertifikat dengan hak tanggungan atas tanah yakni
didahului dengan PPAT yang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT). Namun dalam praktiknya, sebelum sertifikat hak milik atas tanah itu jadi
maka belum bisa dibuat APHT. Sehingga hanya dibuatkan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) saja oleh Notaris/PPAT. Aturan
hukum yang berlaku apabila di atas tanah milik yang diagunkan terdapat
bangunan dan tanaman, berlaku asas pemisahan horizontal. Namun dalam
realitanya pembebanan hak tanggungan hanya akan terjadi apabila dinyatakan
dalam APHT yang bersangkutan, apabila hal itu tidak dinyatakan dengan tegas,
maka hak tanggungan hanya terjadi atas tanahnya saja.
Saran penulis untuk menghindari permasalahan yang telah dijabarkan maka
diharapkan kepada masyarakat yang masih memiliki objek tanah yang belum
bersertifikat untuk segera mengajukan pendaftaran tanah ke Kantor Pertanahan
untuk mendapat kepastian hukum. Selanjutnya Notaris-PPAT diharapkan
memberi penyuluhan mengenai pentingnya kepastian hukum dari tanah yang
belum bersertifikat. | en_US |