dc.description.abstract | COVID-19 merupakan Spesies virus yang melanda dunia. Jika tidak ditangani segera, maka dapat menyebabkan sakit yang parah seperti sindrom pernaasan akut, pneumonia, gagal ginjal, bahkan kematian. Untuk menjamin kesehatan rakyat sebagai perwujudan UUD 1945 dan Pasal 15 Ayat (2) UU Kekarantinaan Kesehatan pemerintah mengadakan program vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi COVID-19. Kematian yang terjadi pada tenaga kesehatan tersebut membuat masyarakat takut dengan adanya kejadian ikutan pasca vaksinasi sehingga menurunkan keyakinan masyarakat terhadap keefektifan dari program vaksinasi tersebut. Turunnya keyakinan masyarakat harus diimbangi dengan perlindungan terhadap penerima vaksinasi sehingga masyarakat merasa aman dan menumbuhkan kepercayaan mereka terhadap program vaksinasi tersebut.
Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan tipe penelitian doktrinal dengan pendekatan perundangan-undangan dan pendekatan konseptual. Metode pengumpulan bahan hukum menggunakan studi pustaka, dengan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan nonhukum. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu pertama, apakah tindakan pelaksana vaksinasi yang menimbulkan penyakit, kecacatan tubuh dan atau hilangnya nyawa sebagai kejadian ikutan pasca vaksinasi dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana; kedua, apa perlindungan hukum terhadap penerima vaksinasi yang mengalami penyakit, kecacatan tubuh dan atau kematian sebagai kejadian ikutan pasca vaksinasi COVID-19 menurut hukum positif Indonesia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa. Untuk dapat dipertanggungjawabkannya suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Dalam hal ini perbuatan yang dilakukan adalan tindakan vaksinasi yang menimbulkan penyakit, kecacatan tubuh dan/atau hilangnya nyawa penerima vaksin COVID-19. Tenaga Kesehatan Pelaksana Layanan Vaksinasi COVID-19 yakni Dokter, Bidan, Perawat dan Petugas Kesehatan yang melaksanakan tugas pelayanan vaksinasi yang berakibat penyakit, keacacatan tubuh atau hilangnya nyawa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika layanan yang diberikan dilakukan sesuai dengan peraturan-peraturan mengenai pelaksanaan layanan vaksinasi yang telah mengatur secara ketat tentang tata cara dan prosedur vaksinasi. Hal sebaliknya, pelaksana layanan vaksinasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika tindakan tersebut ditemukan adanya unsur kesalahan (sengaja atau alpa). Hal tersebut sesuai dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Perlindungan hukum abstrak yang dilakukan pemerintah adalah dengan cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum dalam pelaksanaan vaksinasi di Indonesia. Bentuk perlindungan konkret yang dilakukan pemerintah yaitu dengan menugaskan Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan bersama dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota melakukan pemantauan dan penanggulangan kejadian ikutan pasca vaksinasi COVID-19 dan juga memberikan kompensasi kepada penerima vaksin yang mengalami kejadian ikutan pasca vaksinasi COVID-19.
Saran yang dapat diberikan dalam skripsi ini yaitu: Dalam pelaksanaan vaksinasi COVID-19, seyogyanya semua peraturan-peraturan yang sudah ada dilaksanakan secara konsisten dan dengan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi kejadian ikutan pasca vaksinasi yang bersifat fatal seperti penyakit, kecacatan tubuh hingga kematian. Selain itu, pemerintah harus lebih aktif mensosialisasikan mengenai perlindungan hukum sebagai tanggung jawab negara atas program vaksinasi COVID-19 vaksinasi COVID-19 sehingga dapat mengurangi kekhawatiran masyarakat terhadap kejadian ikutan pasca vaksinasi yang dapat terjadi. | en_US |
dc.description.sponsorship | Dosen Pembimbing Utama, Dwi Endah Nurhayati, S.H., M.H
Dosen Pembimbing Anggota Fiska Maulidian Nugroho, S.H., M.H. | en_US |