dc.description.abstract | Perjanjian yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum sekaligus melaksanakan prestasi yang telah disepakati bersama. Perjanjian
hutang piutang merupakan jenis perjanjian yang sering dijumpai dalam kegiatan
masyarakat salah satunya dalam dunia usaha. Dalam perjanjian hutang piutang,
cicilan pembayaran merupakan suatu prestasi yang harus dilakukan sesuai dengan
janji yang telah disepakati agar tidak menimbulkan wanprestasi. Sebagaimana kajian
dalam Putusan Nomor 442 K/Pdt.Sus-BPSK/2020. Pemohon Kasasi dalam perkara a
quo tidak segera memenuhi kewajiban prestasi dengan membayar cicilan untuk
modal usaha serta keuntungan yang dijanjikan sesuai jangka waktu permbayaran
yang telah disepakati dalam perjanjian kerjasama investasi (dibawah tangan) yang
berakibat tersitanya tanah. Sehingga, pokok perkara a quo merupakan merupakan
perjanjian hutang piutang bukan sengketa konsumen. Dalam penelitian ini penulis
tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan mencoba meneliti
kewenangan BPSK dalam mengadili sengketa wanprestasi terhadap perjanjian hutang
piutang (Putusan Mahkamah Agung 442 K/Pdt.Sus-BPSK/2020).
Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif serta pendekatan
masalah yang digunakan yaitu pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang,
dan pendekatan kasus. Sehingga dalam penelitian ini menemukan suatu permasalahan
yang akan dibahas diantaranya : Pertama, Apakah Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen berwenang dalam mengadili sengketa wanprestasi terkait perjanjian
hutang piutang?. Kedua, Apa akibat hukum dari Putusan BPSK yang mengadili
sengketa wanprestasi terkait perjanjian hutang piutang?. Ketiga, Apakah
pertimbangan hukum hakim (ratio decidendi) dalam menolak permohonan kasasi
dalam (Putusan Mahkamah Agung Nomor 442 K/Pdt.Sus-BPSK/2020) sudah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku?. Serta bahan hukum yang digunakan terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan non hukum yang berkaitan dengan
kasus yang diteliti.
Hasil penelitian yang diperoleh penulis dapat memberikan penjelasan
diantaranya : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam kaitannya dengan kasus
yang dikaji tidak berwenang dalam mengadili dan menyelesaikan sengketa tersebut.
Bahwasannya Perjanjian Hutang Piutang tidak termasuk dalam ruang lingkup
sengketa konsumen sehingga menjadi kewenangan absolut Pengadilan Negeri dalam
mengadili dan menyelesaikan sengketa tersebut. Akibat hukum pada kasus yang
dikaji (Putusan Mahkamah Agung Nomor 442 K/Pdt.Sus-BPSK/2020) yaitu
menguatkan putusan Pengadilan sebelumnya atau Pengadilan Negeri Tasikmalaya.
Oleh sebab itu, pertimbangan hukum hakim (ratio decidendi) Mahkamah Agung
yang menolak permohonan kasasi terhadap sengketa ini telah sesuai dengan undangundang dan ketentuan yang berlaku dimana BPSK tidak berwenang dalam mengadili
dan menyelesaikan sengketa perjanjian hutang piutang.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian-uraian diatas bahwa : Pertama,
Badan Penyelesaian Sengketa konsumen tidak berwenang secara absolut untuk
menyelesaikan sengketa hutang piutang. Kedua, akibat hukum atas Putusan BPSK
yang mengadili sengketa yang bukan menjadi kewenangannya menyebabkan para
pihak harus kembali mematuhi putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya. Ketiga,
pertimbangan hukum hakim (ratio decidendi) dalam menjatuhkan amar putusan yaitu
menolak permohonan kasasi sudah tepat dengan ketentuan yang berlaku. Sehingga
dalam penelitian ini, penulis memberikan saran yang dapat menjadi masukkan
diantaranya : Pertama, BPSK lebih teliti dalam memahami tugas dan wewenang yang
termasuk dalam ruang lingkupnya. Agar BPSK tidak mengulangi kembali
permasalahan dimana bertindak diluar batas kewenangan yang sudah terkandung baik
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen dan
Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/Mpp/Kep/12/2001
tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK. Kedua dalam menjatuhkan putusan,
hendaknya hakim BPSK yang memeriksa dan mengadili sengketa mencermati secara
baik-baik tentang sengketa yang diperkarakan. Sehingga para pihak yang bersengketa
memperoleh kepastian hukum dan terwujudnya sistem penegakan hukum yang
efisien. Ketiga, hakim dalam menjatukan suatu putusan dapat mencerminkan nilainilai keadilan bagi para pihak. | en_US |