dc.description.abstract | Secara empiris beberapa wilayah di Jawa Timur yang menggunakan jejaring pondok pesantren untuk meraih legitimasi politik masih terkategori sebagai daerah miskin. Konsekuensinya, indeks pembangunan manusia, pelayanan publik, hingga akses kesehatan menjadi pertaruhan dalam proses pembangunan daerah. Hal tersebut memunculkan paradoks kekuatan politik berbasis kelompok Islam tradisional yang ditopang oleh ketokohan Kiai meskipun di sisi lain tidak diimbangi literasi publik. Muncul pertanyaan, apakah pondok pesantren tidak mempersiapkan diri untuk menggerakkan transformasi sosial? Ilmuwan berasumsi bahwa politik Islam dipergunakan sebagai instrumen politik namun tidak menjamin perubahan sosial. Asumsi lain menyatakan demokrasi menempatkan Kiai mampu masuk dalam ruang politik tetapi kapasitas untuk mentransfigurasikan kekuatan pesantren hanya berorientasi pada pendidikan. Studi ini mengargumentasikan: pertama, terdapat perebutan legitimasi antar jejaring politik Islam tradisional yang berkontribusi pada penciptaan friksi di tataran masyarakat sipil. Kedua, trah pesantren dan kontestasi politik belum diimbangi oleh kapasitas masyarakat sipil untuk mengkondisikan arah transisi demokrasi. Dan ketiga, isu formasi masyarakat sipil antara elitisme Kiai dan basis massa masih menyisakan kesenjangan karena secara turun temurun dihidupi melalui struktur yang memisahkan keduanya. | en_US |