Show simple item record

dc.contributor.advisorSuarda, I Gede W.
dc.contributor.advisorWildana, Dina Tsalist
dc.contributor.authorDarmawan, Rizki Berlianto
dc.date.accessioned2021-04-16T06:27:45Z
dc.date.available2021-04-16T06:27:45Z
dc.date.issued2020-12-22
dc.identifier.nim160710101463
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/104170
dc.description.abstractLatar belakang dari penulisan skripsi ini bermula dari anak Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual beberapa tahun terus meningkat. Data tahun 2002 menunjukkan anak usia 6-12 tahun paling sering mengalami kekerasan seksual (33%) dan emosional (28,8%), di bandingkan dengan kekerasan yang bersifat fisik (24,1%). Pada tahun 2017 KPAI menemukan 116 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Komisioner KPAI Jasra Putra mengungkapkan, data menunjukkan bahwa pihaknya menemukan 218 kasus kekerasan seksual terhadap anak pada tahun 2015. Sementara pada tahun 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kemudian di tahun 2017, tercatat sebanyak 116 kasus. Dari hasil data tersebut pemerintah merespon dengan mengeluarkan PERPPU No. 1 Tahun 2016 sebagai hasil Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan juga diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak terdapat pengaturan pemberian sanksi pidana berupa kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual. Hal ini menjadi bahan diskusi akademis maupun non akademis, karena hingga sejauh ini pihak yang memiliki kewenangan (Ikatan Dokter Indonesia) menolak melakukan kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual karena tidak selaras dengan etika profesi dalam bidang kedokteran. Disisi lain Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 juga berpotensi menimbulkan disharmonisasi dengan beberapa Undang-Undang lain yang berlaku di Indonesia. Dari uraian tersebut terdapat permasalahan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini yaitu yang pertama apakah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dapat menimbulkan disharmonisasi dengan hukum positif lain yang berlaku di Indonesia, dan kedua bagaimana seyogyanya pengaturan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, agar memiliki kepastian hukum dan efektivitas hukum dimasa mendatang. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif yaitu dilakukan dengan mengkaji berbagai macam aturan hukum yang bersifat formal seperti Undang-Undang, literatur-literatur yang berisi konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Serta bahan hukum yang digunakan antara lain bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil dari penelitian skripsi ini yang pertama, yaitu terkait sanksi pidana tambahan kebiri kimia di dalam Undang-Undang No. 17/2016 Tentang Perlindungan Anak berpotensi menimbulkan disharmonisasi dengan beberapa hukum positif lain yang berlaku di Indonesia, yakni KUHP, Undang-Undang No. 5/1998 Tentang Konvensi Anti Penyiksaan, Undang-Undang No. 12/1995 Tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang No. 36/2009 Tentang Kesehatan, dan Undang-Undang No. 29/2004 Tentang Praktik Kedokteran.en_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherFakultas Hukum Universitas Jemberen_US
dc.subjectPidana Kebiri Kimiaen_US
dc.titleRekonstruksi Sanksi Pidana Tambahan Berupa Pidana Kebiri Kimia Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesiaen_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.prodiIlmu Hukum
dc.identifier.kodeprodi0710101


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record