dc.description.abstract | Teknologi merupakan alat bantu manusia untuk mencapai kemudahan dalam urusan kehidupannya. Tetapi dengan munculnya teknologi, dimensi kejahatan juga ikut mengalami perkembangan, salah satunya adalah penyebaran berita bohong melelui media sosial dengan isi konten terorisme didalamnya. Ada beberapa kasus mengenai berita bohong tentang terorisme yang membuat resah dan takut masyarakat. Salah satunya mengenai bom yang munculnya bersamaan dengan pengeboman oleh teroris di berbagai daerah di Indonesia. Selang beberapa waktu hoax atau berita bohong seringkali bermunculan dengan dimensi yang berbeda-beda yang mudah sekali dimanfaatkan untuk mengadu domba dan memecah belah bangsa. Sehingga munculah kekhawatiran Wiranto yang pada saat itu menjabat sebagai Menkopolhukam mengatakan bahwa beredarnya hoax ini sudah disituasi yang membahayakan negara kedepannya apabila dibiarkan terus menerus, maka dari itu Wiranto membuat wacana kepada publik bahwa penyebar berita bohong dapat dikenakan dengan undang-undang terorisme agar ancaman hukumannya lebih berat dan mendapat efek jera.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah yuridis-normatif artinya permasalahan yang diangkat, dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Penyusunan skripsi ini menggunakan 2 (dua) pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (normatif) dan pendekatan konseptual.
Hasil pembahasan yang penulis dapatkan yakni pertama bahwa berita bohong tentang terjadinya terorisme yang disebarkan melalui media sosial untuk saat ini bukan merupakan suatu tindak pidana terorisme karena dalam undang-undang terorisme pasal 1 angka 4 dan pasal 6 bukan merupakan suatu pasal yang dimaksudkan untuk pemberantasan konten berita bohong melainkan ancaman kekerasan terorisme. Kedua bahwa undang-undang yang tepat diterapkan untuk saat ini sebagai pemberantasan penyebaran berita bohong adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 pasal 14 dan pasal 15 dengan alasan bahwa pembuktian dari unsur-unsur dalam pasal tersebut memudahkan penegak hukum. Sedangkan pada undang-undang ITE pasal 28 ayat 1 menyulitkan penegak hukum untuk pembuktian unsurnya, karena pasal itu lebih mengarah kepada kerugian konsumen.
Selanjutnya saran yang penulis berikan yakni pertama, dalam pemberantasan penyebaran berita bohong pada media sosial diperlukan adanya suatu rumusan pasal dalam peraturan perundang-undangan yang lebih terperinci dan pasal yang bertujuan untuk pemberantasan berita bohong. Sehingga rumusan pasal tersebut dapat diterapkan oleh penegak hukum untuk menjerat pelaku penyebaran konten berita bohong. Kedua, undang-undang nomor 1 tahun 1946 seharusnya sudah mengalami perubahan yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Karena undang-undang tersebut dibuat untuk kejadian pada tahun 1946 dan pada zaman itu yang berbeda jauh dengan masa sekarang. Sedangkan undang- | en_US |