Show simple item record

dc.contributor.advisorNurhayati, Dwi Endah
dc.contributor.advisorHalif
dc.contributor.authorFitriani, Rizka Maulida
dc.date.accessioned2020-10-31T06:02:02Z
dc.date.available2020-10-31T06:02:02Z
dc.date.issued2020-06-15
dc.identifier.nim160710101312
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/101413
dc.description.abstractPutusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan. Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam menyaring proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan pada penuntutan. Tidak jarang tuntutan jaksa juga menimbulkan disparitas dalam pemidanaan, karena hakim akan menjatuhkan pidana berdasar pada tuntutan jaksa penuntut umum. Namun dalam hal tersebut hakim memiliki pertimbangan-pertimbangan yang juga harus diperhatikan yaitu keadaan yang memberatkan dan meringankan dalam menjatuhkan berat ringannya pidana terhadap terdakwa. Perbedaan lamanya pemidanaan yang dilakukan oleh penegak hukum (jaksa dan hakim) terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II dapat menimbulkan pertanyaan dan perdebatan dalam kalangan masyarakat. Dalam KUHP dikatakan sebagai perbuatan pemerasan apabila memenuhi unsur delik Pasal 368 Ayat (1) KUHP “barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Dalam melakukan perbuatannya terdapat dua cara yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang memiliki perbedaan makna, dan dapat diperberat menggunakan Pasal 368 Ayat (2) KUHP. Berkaitan dengan hal ini maka yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah: Rumusan masalah pertama, apakah pemidanaan yang bersifat disparitas terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II dalam Putusan Nomor: 206/Pid.B/2019/PN.Gsk sudah sesuai dengan sistem pemidanaan menurut hukum positif Indonesia? Dan Kedua, apakah amar putusan yang menyatakan bahwa “Terdakwa I dan Terdakwa II terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana Pemerasan dengan Kekerasan” dalam Putusan Nomor: 206/Pid.B/2019/PN.Gsk telah sesuai dengan fakta di dalam persidangan? Metode penelitian skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah atau norma dalam hukum positif. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konseptual. Sumber bahan yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah bahan hukum primer dan sekunder. Setelah bahan hukum terkumpul kemudian dilakukan analisis bahan hukum yang terdiri dari 5 (lima) langkah. Hasil penelitian dalam skripsi ini adalah: Pertama, sistem pemidanaan menurut hukum positif Indonesia khususnya KUHP membatasi adanya kebebasan dalam penjatuhan pidana melalui penetapan minimal umum, maksimal khusus dan maksimal umum. Untuk mengimplementasikan individualisasi pidana, hakim wajib mempertimbangkan pertimbangan yuridis dan non yuridis termasuk hal-hal yang memberatkan dan meringankan menurut ketentuan Pasal 197 Ayat 1 huruf f KUHAP. Hakim dalam Putusan Nomor: 206/Pid.B/2019/PN.Gsk yang menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pemerasan dengan Kekerasan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Ayat (2) KUHP adalah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 197 Ayat 1 huruf f KUHAP dimana dalam hal tersebut hakim tidak menguraikan keadaan memberatkan dan meringankan secara rinci dan jelas bagi para terdakwa sehingga menghasilkan putusan pemidanaan dengan lama pidana yang berbeda antara Terdakwa I dan Terdakwa II. Kedua, amar putusan hakim dalam Putusan Nomor 206/Pid.B/2019/PN.Gsk yang menyatakan bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana “Pemerasan dengan Kekerasan” tidak sesuai dengan fakta persidangan. Berdasarkan pemeriksaan alat bukti, perbuatan yang dilakukan para terdakwa dengan cara mengaku sebagai anggota kepolisian, menembakkan pistol ke arah bawah anak korban dan menakut-nakuti para anak korban untuk dibawa ke kantor polisi agar ditebus oleh orang tuanya, sehingga membuat para anak korban menjadi ketakutan dan memberikan uang sebesar Rp. 200.000,- kepada para terdakwa. Sehingga perbuatan yang mencocoki para pelaku dikualifikasikan sebagai perbuatan yang memaksa dengan menggunakan ancaman kekerasan. Saran yang diberikan penulis dalam skripsi ini yang Pertama, hakim dalam menjatuhkan pidana selain harus berorientasi pada tujuan pemidanaan, prinsip individualisasi pemidanaan, hakim juga harus secara teliti memperhatikan seluruh aturan pemidanaan yang berlaku bagi para terdakwa, baik yang diatur dalam KUHP maupun KUHAP, utamanya untuk menghindari terjadinya ketidak adilan akibat disparitas pemidanaan. Kemudian yang Kedua, amar putusan merupakan mahkota putusan, oleh karena itu hakim dalam menyusun pertimbangannya yang dimuat dalam putusan pemidanaan harus sesuai dengan Pasal 197 Ayat (1) huruf d KUHAP sebagai ukuran rasional amar putusan. Hakim harus lebih cermat dan teliti dengan menguraikan unsur-unsur pasal dan memperhatikan pendapat para doktrina dan yurisprudensi, agar tidak terjadinya kesalah pahaman dalam putusan sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada terdakwa dan juga kepada masyarakat luas.en_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherIlmu Hukum / Penegakan Hukum Pidanaen_US
dc.subjectDisparitas Pemidanaanen_US
dc.subjectTindak Pidana Pemerasanen_US
dc.subjectTindak Pidana Kekerasanen_US
dc.titleDisparitas Pemidanaan dalam Tindak Pidana Pemerasan dengan Kekerasan (Putusan Nomor 206/ PID.B /2019/ PN.GSK).en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record