KEABSAHAN PERKAWINAN YANG TIDAK DILAKUKAN OLEH WALI NASAB MENURUT HUKUM ISLAM (Studi Penetapan Pengadilan Agama Kediri Nomor: 56/Pdt.P/2011/PA.Kdr) THE VALIDITY OF MARRIAGE WAS NOT DONE BY THE WALI NASAB ACCORDING TO ISLAMIC LAW (Research of Determination Religious Court Kediri Number: 56/Pdt.P/2011/PA.Kdr) Oleh: KHURROTUL AINI
Abstract
Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang dalam
pelaksanaannya memerlukan rukun dan syarat untuk dapat dikatakan sah menurut
hukum. Dalam Kompilasi Hukum Islam rukun yang harus dipenuhi antara lain
Calon suami, Calon istri, Wali nikah, Dua orang saksi, dan Ijab qabul. Salah satu
yang selalu menjadi persoalan dalam masyarakat adalah keberadaan wali. Untuk
melaksanakan perkawinan seharusnya dilakukan oleh wali nasab. Namun tidak
sedikit masyarakat dalam pelaksanaan perkawinan menggunakan wali hakim
sebagai wali nikah walaupun wali yang berhak masih ada. Dengan alasan bahwa
wali berhalangan karena disebabkan beberapa hal diantaranya karena keadaan
fisik ataupun disebabkan keengganannya (adhol). Berdasarkan uraian penjelasan
diatas penulis tertarik untuk meneliti dan membahasnya dalam suatu karya ilmiah
dalam bentuk skripsi yang berjudul “KEABSAHAN PERKAWINAN YANG
TIDAK DILAKUKAN OLEH WALI NASAB MENURUT HUKUM ISLAM
(STUDI PENETAPAN PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR:
56/PDT.P/2011/PA.KDR)”. Rumusan masalah meliputi 2 (dua) hal yaitu:
pertama, apakah perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali nasab sah menurut
Hukum Islam? kedua, apakah Rasio Desidendi Hakim dalam menetapkan
Penetapan Nomor: 56/Pdt.P/2011/PA.Kdr? Tujuan mengetahui dan memahami
permasalahan tersebut meliputi tujuan umum yakni, melengkapi tugas akhir dan
persyaratan akademik guna mencapai gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi
Ilmu Hukum pada Universitas Jember, serta tujuan khusus untuk mengetahui dan
memahami bagaimana keabsahan perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali
nasab sah menurut Hukum Islam dan memahami bagaimana Rasio Desidendi
Hakim dalam menetapkan Penetapan Nomor: 56/Pdt.P/2011/PA.Kdr. Metode
penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis
normatif, artinya permasalahan yang diangkat, dibahas dan diuraikan dalam
penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidah-kaidah atau norma-norma
dalam hukum positif. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan undangundang
dan pendekatan konseptual, dengan bahan hukum yang terdiri dari bahan
hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Analisis bahan hukum
menggunakan analisis deduktif, guna memberikan preskripsi mengenai apa yang
seharusnya merupakan esensial dari penelitian hukum, karena untuk hal itulah
dilakukan penelitian tersebut.
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Rukun perkawinan menurut Pasal 14 KHI
untuk melakukan perkawinan harus ada calon suami, calon istri, wali nikah, dua
orang saksi dan ijab qabul. Perkawinan mempunyai tujuan yakni membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Wali dalam perkawinan bagi perempuan menurut Hukum Islam
memang menjadi syarat sahnya perkawinan bagi seorang perempuan. Terkait itu,
alangkah baiknya dalam melaksanakan pekawinan perempuan menggunakan wali
dalam melakukan Ijab Qabul agar tujuan dari perkawinan tersebut dapat tercapai. Dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagaimana disebutkan
dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Disamping itu sahnya suatu perkawinan dalam
hukum islam ditentukan oleh rukun-rukun perkawinan yang harus dipenuhi dalam
melaksanakan perkawinan. Dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam rukun yang
harus dipenuhi antara lain Calon suami, Calon istri, Wali nikah, Dua orang saksi,
dan Ijab qabul. Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa wali nikah
dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai
wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Dalam hal ini yang paling berhak
menjadi wali nikah adalah wali nasab. Seorang wali dapat langsung melaksanakan
akad tersebut atau mewakilkannya kepada orang lain, dalam hal mewakilkan ada
beberapa faktor yang harus diperhatikan. Dalam hal tidak dapat menghadirkannya
laki-laki yang berhak menjadi wali nikah, karena keadaan fisiknya yang tidak
memungkinkan, mafqud, mungkin sudah meninggal atau gaib, atau mungkin juga
ada tetapi tidak memenuhi syarat-syarat menjadi wali nikah, misalnya karena
belum dewasa, pikun ataupun disebabkan keengganannya (adhol) yang
menyebabkan wali nasab tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai wali
nikah, maka hak perwaliannya berpindah ke wali hakim.
Kesimpulan dari pembahasan skripsi ini bahwa perkawinan yang tidak
dilakukan oleh wali nasab adalah sah. Hak perwalian wali nasab dapat berpindah
ke wali hakim apabila wali nasab berhalangan atau disebabkan oleh keenggannya
(adhol). Sebagaimana dijelaskan dalam KHI Pasal 23 ayat (1) dan (2). Ratio
decidendi hakim dalam memutus perkara Penetapan Pengadilan Agama Kediri
Nomor: 56/Pdt.P/2011/PA.Kdr berdasarkan Pasal 14, Pasal 19 s.d. Pasal 23
Kompilasi Hukum Islam, perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II tidak
memenuhi rukun dan syarat, perkawinan telah dilaksanakan oleh yang tidak sah.
Berdasarkan hal tersebut hakim menolak permohonan. Saran dari penulis adalah,
kepada orang tua atau wali nasab, hendaknya sebagai wali nikah dapat bertindak
bijaksana dan tidak mempersulit ataupun menolak untuk menjadi wali apabila
anak perempuannya ingin melangsungkan perkawinan. Kepada pasangan yang
ingin melaksanakan perkawinan agar tidak memilih wali hakim, wali muhakam
atau wali yang lain selama wali nasab masih ada, karena dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap perkawinan, salah satunya dapat memutus silaturrahmi
dengan orang tua serta keluarga.
Collections
- UT-Faculty of Law [6250]