KEWENANGAN MENTERI DALAM NEGERI DAN GUBERNUR DALAM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH
Abstract
Pasal 24 A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyebutkan bahwa, Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang,
dan mempunyai wewenang lainnnya yang diberikan oleh undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa apabila terdapat suatu perda
yang bertentangan dengan undang-undang, maka lembaga yang diberikan
kewenangan untuk menguji dan membatalkannya adalah Mahkamah Agung. Hal ini
diperkuat oleh Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan bahwa “Dalam hal
suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan
dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Namun
berbeda halnya jika kita melihat ketentuan sebagaimana dimuat dalam Pasal 251
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang pada
intinya memberikan kewenangan kepada Menteri untuk membatalkan suatu perda.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa terjadi dishamonisasi antar peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang legalitas pembatalan perda, yakni
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014.
Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas penulis mengidentifikasikan
beberapa rumusan masalah antara lain : (1) Apakah implikasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 terhadap kewenangan Menteri dalam Negeri
dan Gubernur untuk membatalkan peraturan daerah ; (2) Bagaimana praktek
pembatalan peraturan daerah oleh Mahkamah Agung ? dan (3) Bagaimanakah
seharusnya kewenangan pengawasan peraturan daerah oleh Menteri dalam Negeri
dan Gubernur ? Tipe penelitian yang digunakan dalam penyelesaian tesis ini adalah
tipe penelitian yuridis normatif. Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, maka
metodologi dalam penelitian tesis ini menggunakan dua macam pendekatan, yakni
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conseptual approarch). Dalam pengumpulan bahan hukum ini penulis
menggunakan metode atau cara dengan mengklasifikasikan, mengkategorisasikan
dan menginventarisasi bahan-bahan hukum yang dipakai dalam menganalisis dan
memecahkan permasalahan.
Hasil kajian yang diperoleh bahwa : Pertama, Demi kepastian hukum dan
sesuai dengan UUD 1945 menurut pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi
pengujian atau pembatalan Perda menjadi ranah kewenangan konstitusional
Mahkamah Agung. Berdasarkan uraian di atas, Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) Undang Undang Pemerintahan Daerah sepanjang mengenai Perda
Kabupaten/Kota bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and binding. Artinya, pemberlakuannya
mengikat dimulai pada saat dibacakan. Dalam kasus ini, Mahkamah Konstitusi telah
memutus rantai perdebatan terkait pengujian Perda Kabupaten/Kota. Putusan
Mahkamah Konstitusi secara tegas memberikan “stempel kewenangan” kepada
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan yang berhak menguji dan
membatalkan Perda Kabupaten/Kota (judicial review). Dengan demikian,
pengawasan yang bersifat represif menjadi wewenang Mahkamah Agung, sedangkan
pengawasan yang bersifat preventif, mutlak menjadi tugas Pemerintah Pusat. Kedua,
Dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak
boleh semata-mata berdasarkan “pertingkatan”, melainkan juga pada “lingkungan
wewenangnya”. Suatu Perda yang bertentangan dengan suatu peraturan perundangundangan
tingkat lebih tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah, kalau ternyata
peraturan perundang-undangan tingkat tinggi yang melanggar hak dan kewajiban
daerah yang dijamin UUD atau Undang Undang Pemerintahan Daerah. Untuk itu,
pembatalan Perda seharusnya tidak dilakukan oleh Pemerintah, tetapi pembatalan
Perda harus dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui proses pengujian peraturan
perundang-undangan. Ketiga, Peran pengujian peraturan perundang-undangan
merupakan tugas Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan undang-undang, peran
Mendagri sebagai penguji peraturan perundangan-undangan hanya dibatasi untuk
empat isu yaitu masalah tata ruang, Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah,
pajak, dan retribusi daerah. Pengalihan wewenang tersebut tidak akan menghambat
penyelesaian peraturan daerah yang bermasalah. Menurut hemat penulis akan lebih
baik jika Mahkamah Agung meniru model pengujian peraturan di Mahkamah
Konstitusi.
Berdasarkan hasil kajian tersebut penulis memberikan saran, bahwa : Apabila
pengawasan terhadap cabang kekuasaan lain (dalam hal ini kekuasaan ekskutif)
dilakukan secara eksternal oleh kekuasaan kehakiman maka dinamakan judicial
review sedangkan apabila dilaksanakan secara internal oleh pemerintah dinamakan
executive review. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa mekanisme
executive preview dan executive review lebih mirip sebagai semacam upaya
administrasi yang bersifat tertutup di lingkungan pemerintahan, lebih berfungsi
sebagai instrumen pengawasan internal oleh pemerintah terhadap pemerintah daerah.
Sarana pengujian secara yudisial (judicial review) baru terbuka dan dapat digunakan
manakala struktur pemerintahan yang lebih rendah mengajukan keberatan atas hasil
dilakukannya executive review berupa keputusan pembatalan peraturan daerah yang
dilakukan oleh struktur pemerintahan yang lebih tinggi kedudukannya. Dan dapat
juga dilihat dari sisi yang berbeda bahwa sarana pengujian secara yudisial (judicial
review) atas peraturan perundang-undangan di daerah baru akan berlangsung
manakala terdapat orang atau badan hukum yang merasa keberatan dan mengajukan
permohonan hak uji materil ke Mahkamah Agung untuk membatalkan peraturan
daerah yang dianggap merugikannya tersebut. Atau sebaliknya pemerintahan daerah
tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan desa/daerah yang dilakukan
baik oleh Presiden dan/atau Menteri sehingga mengajukan langkah hukum pengajuan
permohonan hak uji materil ke Mahkamah Agung. Pengujian dan pemeriksaan
permohonan hak uji materi oleh Mahkamah Agung tersebut memiliki fungsi
pengawasan eksternal yang bersifat yuridis terhadap kekuasaan pemerintahan
(executive) dalam kerangka check and balances dan sekaligus dalam rangka
mengawal cita negara hukum.
Collections
- MT-Science of Law [333]