PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR ATAS GAGAL BAYAR DEBITUR AKIBAT TERJADINYA RESIKO USAHA DAN TIDAK ADANYA AGUNAN
Abstract
Di Indonesia peranan Perbankan sebagai sumber pembiayaan dunia usaha masih
sangat dominan. Bank sebagai salah satu lembaga keuangan hadir ditengah masyarakat
untuk menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat dan dikembalikan lagi kepada
masyarakat dalam bentuk kredit. Sesungguhnya pemberian kredit yang aman bagi
kreditur adalah pemberian kredit yang menggunakan agunan. Menjadi permasalahan
apabila dalam pemberian kredit tidak disertakan agunan adalah jika debitur gagal bayar
(wanprestasi) atas kredit atau fasilitas yang telah diterimanya dari perbankan. Perbankan
seharusnya dapat meminta pembayaran dari debitur dan bila diperlukan akan menjual
seluruh aset yang dimiliki oleh debitur dengan batasan dan ketentuan yang diatur oleh
peraturan yang ada guna mendapatkan pembayaran atas fasilitas kredit yang telah
diberikan kepada debitur. Penyaluran kredit tanpa agunan didalam Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan belum mengatur secara khusus tentang pemberian kredit tanpa agunan
hal ini menjadi permasalahan bagi pihak bank itu sendiri. Seharusnya ada yang mengatur
tentang bagaimana sistem penyaluran kredit yang lebih hati-hati (prudent) dan tepercaya
serta bagaimana cara penagihannya. Fokus penyaluran kredit tanpa agunan yang
mengedepankan prinsip kehati-hatian diharapkan selain dapat menghindari kredit macet
(non performing loan/ NPL) dan fraud (penggelapan dana).
Penulis menganalisis 3 (tiga) permasalahan yang kemudian dibahas dalam skripsi
ini. Pertama, bagaimana perjanjian kredit bank tanpa agunan ditinjau dari Undangundang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun
1992 tentang Perbankan?; Kedua, bagaimana tanggung jawab debitur terhadap kreditur
jika debitur gagal bayar akibat terjadinya resiko usaha dan tidak adanya agunan?; dan
ketiga, Bagaimana upaya penyelesaian kredit macet yang dapat dilakukan oleh kreditur
akibat terjadinya resiko usaha milik debitur dan tidak adanya barang agunan?.
Tujuan dilakukannya penelitian ini secara khusus adalah untuk mengetahui dan
memahami perjanjian kredit bank tanpa agunan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan; lalu untuk mengetahui dan memahami tanggung jawab debitur terhadap kreditur jika debitur gagal bayar akibat tejadinya resiko usaha dan tidak adanya jaminan;
dan untuk mengetahui dan memahami penyelesaian kredit macet yang dapat dilakukan
oleh kreditur akibat terjadinya resiko usaha milik debitur dan tidak adanya barang
agunan.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah Tipe yuridis normatif.
Pendekatan masalah yang digunakan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statue
approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). yang mana pendekatan
konseptual yang digunakan, yaitu konsep perjanjian kredit tanpa agunan. Bahan hukum
yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum.
Analisa hukum yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode deduktif, yaitu suatu
metode yang berpangkal dari hal yang bersifat umum menuju permasalahan yang bersifat
khusus. Kemudian menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dan memberikan
preskripsi berdasarkan argumentasi yang dibangun dari kesimpulan.
Hasil pembahasan dalam kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah: Pertama,
Dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan disebutkan bahwa
jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan
merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank melakukan penilaian atas jaminan sebelum memberikan kredit
kepada debitur. Penilaian kredit tanpa agunan sebagai syarat pemberian kredit pada
prinsipnya sama dengan penilaian untuk pemberian kredit dengan agunan. Perbedaannya
terletak pada unsur agunan atau Collateral tersebut tidak dalam bentuk barang, tetapi
dalam bentuk kepercayaan pihak bank kepada calon debiturnya dengan melihat unsur 5C
(character, capacity, capital, collateral, condition of economy) dan 4P (Personality,
Purpose, Prospect dan Payment) untuk melihat kesanggupan dan kemampuan calon
debitur dalam melunasi kredit tanpa agunan tersebut.
Kedua, Tangung jawab debitur kepada krediturnya ketika mengalami kesulitan
dalam pelunasan hutang bank adalah dengan mendatangi pihak bank dan melakukan
negosiasi dalam penyelesaian hutang yang dimiliki nasabah debitur. Namun bila hal
tersebut tidak membuahkan hasil dapat melakukan cara dengan alternatif penyelesaian
sengketa di sektor perbankan yang difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tanpa
pungutan biaya sesuai dengan Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 Tentang lembaga
alternatif penyelesaian sengketa di sektor perbankan melalui mediasi, ajudikasi atau
arbitrase.
Ketiga, Upaya penyelesaian kredit macet tanpa ada agunan yang harus dilakukan
kreditur apabila pembayaran angsuran debitur tergolong tidak lancar, maka pihak Bank
akan melakukan beberapa tahap guna menyelesaikan Kredit macet dengan tahap pertama
yaitu melakukan penagihan secara intensif terhadap nasabah yang masih berprospek dan
dianggap masih mempunyai iktikad baik, namun telah menunjukkan gejala kearah kredit
bermasalah, dilakukan penagihan secara intensif kepada nasabah agar memenuhi seluruh
kewajibannya, memberikan surat teguran kepada debitur dengan tujuan memberitahukan
tenggang waktu pembayaran kredit tanpa agunannya, namun jika debitur tetap tidak
memenuhinya maka kreditur dapat melakukan tindakan selanjutnya yaitu melalui cara
non litigasi yaitu penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan dengan cara
negosiasi, mediasi, ajudikasi dan arbitrase serta dengan cara litigasi yaitu penyelesaian
sengketa melalui jalur didalam pengadilan.
Saran penulis, yakni: Pertama, Hendaknya bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Perlu adanya pengawasan terhadap bank-bank umum yang lebih ketat untuk pemberian
kredit tanpa agunan yang dilakukan oleh bank umum serta perlunya direalisasikan
Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan demi tercapainya kepastian hukum
dalam industri perkreditan di Indonesia serta pengaturan tentang agunan pada pemberian
kredit tanpa agunan. Kedua, Hendaknya bagi pihak Bank sebagai pemberi Kredit Tanpa
Agunan wajib melakukan prinsip kehati-hatian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dalam pemberian kredit kepada calon nasabah debiturnya agar meminimalisir
resiko kerugian yang ditanggung jika suatu saat debiturnya mengalami masalah kredit
macet.; Dan Ketiga Hendaknya bagi Debitur sebelum melakukan perjanjian kredit tanpa
agunan wajib melihat aplikasi atau syarat dari perjanjian kredit tanpa agunan tersebut
apakah sudah sesuai dengan kondisi keuangan yang dimiliki dan hendaknya memikirkan
resiko yang akan terjadi nantinya.
Collections
- UT-Faculty of Law [6218]