PEMBERIAN IZIN POLIGAMI TERHADAP SUAMI YANGMEMILIKI HASRAT SEKSUAL (LIBIDO) YANG TINGGI (Studi Putusan No.016/Pdt.G/2013/Pa.Blu)
Abstract
Tujuan dari penulisan skripsi ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan
khusus. Metode penelitian meliputi tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif,
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum sekunder dengan
menggunakan analisa bahan hukum sebagai langkah terakhir.
Tinjauan pustaka dari skripsi ini membahas mengenai pertama yaitu terdiri dari
perkawinan, pengertian dan dasar hukum perkawinan, asas-asas perkawinan yang mana
pengertian-pengertian ini dikutip oleh penulis dari beberapa sumber bacaan maupun
perundang-undangan yang ada di Indonesia, serta berada dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Kemudian yang kedua yakni mengenai poligami, pengertian dan alasan melakukan
poligami, yang dikutip oleh penulis dari dari beberapa sumber bacaan maupun
perundang-undangan yang ada di Indonesia. Kemudian yang ketiga terdiri dari hasrat
seksual (libido), yang berupa pengertian dari hasrat seksual (libido), yang dikutip oleh
penulis dari beberapa sumber bacaan.
Pembahasan dari skripsi ini yang pertama mengenai alasan suami yang menyatakan
memiliki hasrat seksual (libido) yang tinggi sebagai alasan untuk melakukan poligami.
Kemudian yang kedua mengenai pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Agama
Blambangan Umpu No.016/Pdt.G/2013/Pa.Blu yang mengabulkan permohonan Pemohon
telah sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku.
Adapun kesimpulan dalam skripsi ini adalah alasan suami yang menyatakan
memiliki hasrat seksual (libido) yang tinggi tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan
poligami. Dalam hukum Islam, berpoligami bukanlah suatu perintah dan juga bukan suatu
anjuran namun hanya sebagai sesuatu yang dibolehkan. Dan syarat untuk berpoligami
tersebut adalah mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya. Dalam KHI juga ditegaskan
bahwasanya poligami diperbolehkan maksimal hanya empat orang pada waktu yang
bersamaan dan syaratnya adalah bahwa suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya
nanti. Selain itu, masih berdasarkan KHI bahwa untuk berpoligami juga harus
mendapatkan izin dari pengadilan. Dan pengadilan Agama hanya dapat memberikan izin
untuk poligami kepada suami apabila 1) Istri tidak mampu menjalankan kewajibannya
sebagai istri; atau 2) Istri menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan; atau 3)
Istri tidak dapat melahirkan keturunan seperti dalam pasal 4 (2) UU No.1 Tahun 1974.
Akan tetapi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang mengacu pada hukum Islam, KHI, dan
UU No.1 Tahun 1974 diatas, tidaklah disebutkan secara tegas bahwasanya keadaan hasrat
seksual tinggi (libido) dari suami adalah termasuk salah satu alasan bagi suami untuk
berpoligami. Sehingga kesimpulan yang dapat ditarik adalah alasan suami tersebut yang
menyatakan bahwa dirinya memiliki hasrat seksual (libido) yang tinggi tidak dapat
dijadikan alasan untuk melakukan poligami. Pertimbangan hukum hakim dalam kasus ini
adalah bahwasanya istri atau TERMOHON sebenarnya masih dapat melaksakan
kewajibannya sebagai istri, akan tetapi, karena tingginya hasrat seksual (libido) yang
tinggi dari suami atau PEMOHON tersebut sehingga menurut hakim itu adalah sebuah
indikasi yang menunjukkan bahwa TERMOHON sudah tidak bisa lagi melaksanakan
kewajibannya sebagai istri. Berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku,
bahwasanya keadaan yang memperbolehkan pengadilan untuk memberikan izin poligami
adalah ketika terjadi kondisi seperti dalam pasal 4 (2) UU No.1 Tahun 1974 diatas. Pada
unsur-unsur di pasal 4 (2) UU No.1 Tahun 1974 tersebut tidaklah disebutkan bahwa
keadaan suami yang menyatakan memiliki hasrat seksual (libido) tinggi dapat menjadi
alasan suami untuk menikah lagi. Kemudian pertimbangan hakim yang mengindikasikan
bahwa TERMOHON adalah tak mampu lagi menjalankan kewajibannya sebagai istri
adalah tidak tepat. Apabila merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku, dikatakan
bahwasanya kewajiban istri dalam keluarga bukanlah hanya sebatas kewajiban dalam
berhubungan seksual saja. Pada hukum Islam, kewajiban utama istri dalam keluarga
adalah taat pada suami dalam hal-hal yang tidak dilarang oleh Allah dan juga mampu
menjaga dirinya baik ketika berada di depan suami maupun dibelakangnya. Sementara
pada UU No.1 Tahun 1974 kewajiban istri dalam keluarga adalah mengatur urusan rumah
tangga keluarga sebaik-baiknya. Selanjutnya pada KHI juga dikatakan bahwa kewajiban
istri adalah berbakti secara lahir batin terhadap suami dan juga menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah tangga. Sehingga kesimpulan hakim yang mengambil
kesimpulan berdasarkan pernyataan suami yang menyatakan memiliki kebutuhan seksual
yang sangat tinggi sehingga istri tak mampu lagi menjalankan kewajibannya adalah tidak
tepat karena berdasarkan ketentuan hukum Islam, KHI, dan UU No.1 Tahun 1974 tadi
dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban istri dalam keluarga lebih dari sekadar
memenuhi hasrat atau kebutuhan seksual dari suami saja.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]