PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Abstract
Kesimpulan dalam skripsi ini yang pertama, Pengaturan mengenai kewenangan dalam pemberian izin usaha pertambangan diatur dalam kedua peraturan perundang-undangan yang bersifat sejajar yakni Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang pemda. Hal ini menimbulkan ketidaksinkronan atau ketidaksesuaian peraturan perundang-undangan yang sejajar dalam hierarki. Kedua, Akibat hukum dari adanya tumpang tindih dalam pemberian izin usaha pertambangan akan berdampak kepada masyarakat dan pelaku usaha. Akibatnya, pelaku usaha enggan untuk melakukan izin usaha pertambangan dengan pengaturan atau regulasi yang rumit dan tidak pasti, sehingga menimbulkan banyaknya usaha pertambangan tanpa izin, terbengkalainya berkas-berkas yang sudah didaftarkan atau yang akan didaftarkan karena belum adanya kejelasan mengenai kewenangan dalam pemberian izin usaha pertambangan. Ketiga, penyelesaian disharmonisasi hukum menggunakan asas lex specialis derogate lex generalis yaitu asas peraturan hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan peraturan hukum yang bersifat khusus. Peraturan hukum yang bersifat lex specialis atau bersifat khusus adalah Undang-Undang Minerba, sedangkan lex generalis atau yang bersifat umum adalah Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Merujuk pada prinsip subsidiaritas bahwasanya kewenangan dalam pemberian izin usaha pertambangan menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan mengubah atau mencabut pasal tertentu dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang mengalami disharmonisasi dengan Undang-undang Minerba, dalam hal ini yaitu mengenai ketentuan dalam pasal 12 ayat (3) dan pasal 14 ayat (1). Diharapkan hal tersebut bisa mengatasi disharmonisasi hukum agar peraturan mengenai izin usaha pertambangan berkepastian hukum.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]