ANALISIS EFISIENSI PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PASCAKRISIS FINANSIAL GLOBAL 2008 DENGAN PEND
Abstract
Perbankan syariah mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini
terjadi pada jaringan kantor dan jumlah bank, serta total aset yang meningkat
secara signifikan pasca diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, sehingga lembaga intermediasi ini memiliki kepastian hukum
yang lebih spesifik, akan tetapi market sharenya belum mampu bersaing dengan
perbankan konvensional, maka perlu dilakukannya pengukuran efisiensi sebagai
indikator yang dapat digunakan untuk peningkatan market share. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi relatif perbankan syariah, dan upaya
yang harus dilakukan bagi bank yang inefisien agar mencapai efisiensi sempurna
(100%), serta mengetahui perbedaan tingkat efisiensi antara bank umum syariah
dan unit usaha syariah.
Pengukuran efisiensi dilakukan dengan metode data envelopment analysis
(DEA), berasumsi constant return to scale (CRS), dan pendekatan intermediasi
dalam penggunaan variabel, sehingga (labor costs, fixed assets, dan total deposits)
sebagai variabel input, serta (total loans, liquid assets, dan other income) sebagai
variabel output. Jenis bank syariah yang digunakan sebagai objek penelitian
adalah 11 bank umum syariah dan 12 unit usaha syariah, dipilih atas pertimbangan
tertentu (purposive sampling). Data diperoleh dari website bank yang
bersangkutan, dan laporan publikasi pada Bank Indonesia atau OJK.
Hasil pengukuran menunjukan bahwa pada tahun pengamatan, yaitu tahun
2010-2014 terdapat 1 bank umum syariah yang mencapai efisiensi sempurna
secara konsisten, yaitu Bank Maybank Syariah, dan 1 bank yang tidak pernah
xii
mencapai tingkat efisiensi sempurna, yaitu Bank Rakyat Indonesia Syariah,
sementara tingkat efisiensi pada 9 bank yang lain mengalami fluktuasi. Fenomena
menarik juga terjadi pada unit usaha syariah, terdapat 1 bank yang mencapai
efisiensi sempurna secara istikamah yaitu Bank Permata, dan 2 bank yang tidak
pernah keluar dari zona inefisien yaitu Bank Danamon dan Bank Pembangunan
Daerah Riau, sementara gejolak efisiensi juga dialami pada 9 unit usaha syariah
yang lain. Variabel other income dan liquid assets adalah faktor utama inefisiensi.
Selain mengetahui tingkat efisiensi secara relatif, DEA juga menunjukan bank
yang dapat dijadikan acuan agar bank yang inefisien mampu mencapai efisiensi
100%, dan nilai target yang seharusnya dicapai, maka perbaikan efisiensi ini
menjadi syarat bagi perbankan syariah sebagai entitas kelembagaan keuangan
islam untuk meningkatkan market share, ketika setiap individu perbankan
memiliki fondasi yang kuat maka kemakmuran bersama dapat dicapai.
Untuk mengetahui adanya perbedaan atau tidak pada tingkat efisiensi BUS
dan UUS, dilakukan uji beda dengan Mann Whitney U Test yang melalui beberapa
tahap pemenuhan asumsinya, yaitu (i) Uji normalitas Lilliefors dan Shapiro Wilk
yang menunjukan nilai significant (p value) sebesar 0,000 atau < 0,05 yang berarti
data tidak berdistribusi normal, sehingga sudah memenuhi bagian dari asumsinya,
sebab apabila data berdistribusi normal uji Independent T Test lebih tepat
digunakan dari pada Mann Whitney U Test. (ii) Uji homogenitas menggunakan
metode Levene's test, diperoleh nilai significant (p value) 0,638 atau > 0,05 yang
berarti varian kedua kelompok sama atau homogen, maka asumsi homogenitas
telah terpenuhi. (iii) Tahap terakhir pengujian Mann Whitney U, diperoleh bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai efisiensi BUS dan UUS
periode 2010-2014, dengan nilai signifikansi 0,664 > 0,05, hal ini dapat menjadi
pertimbangan bagi nasabah atau masyarakat, bahwa dengan bertransaksi baik di
BUS maupun UUS ketenangan secara emosional akan tetap dirasakan karena
sistem yang diterapkan sama-sama berlandaskan islam.