EFEK STRESOR RASA SAKIT RENJATAN LISTRIK TERHADAP JUMLAH SEL RADANG LIMFOSIT DAN MAKROFAG PADA GINGIVA TIKUS Sprague Dawley
Abstract
Stres adalah ketegangan fisiologis atau psikologis yang disebabkan oleh
rangsangan yang merugikan fisik, mental atau emosi, internal atau eksternal yang
mengganggu fungsi organisme dan keinginan alamiah organisme tersebut untuk
menghindari rangsangan yang menimbulkan reaksi stres. Stres dipicu oleh adanya
stresor dan berdampak buruk bagi kesehatan dikarenakan pada saat stres kekebalan
tubuh individu akan menurun. Saat stres, sekresi CRF, yang berperan sebagai pengatur
sejumlah besar kortisol di dalam darah, meningkat. CRH disekresikan ke dalam sistem
portal hipofisis yang nantinya kan mensekresikan ACTH. ACTH akan memicu korteks
adrenal untuk mensekresi hormon glukokortikoid, salah satu jenis hormon
glukokortikoid adalah kortisol. Kadar kortisol yang tinggi dapat menekan dan
meningkatkan kerentanan pada sistem kekebalan tubuh. Sel limfosit dan makrofag
merupakan sel-sel yang penting dalam pengaturan proses imun-peradangan, karena
makrofag berperan pada sistem kekebalan bawaan dan limfosit berperan pada sistem
kekebalan adaptif. Kortisol yang merupakan hormon stres, berperan dalam efek negatif
pada limfosit dan makrofag yaitu dapat menurunkan jumlah kedua sel tersebut. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui efek stresor rasa sakit berupa renjatan listrik
terhadap penurunan jumlah sel limfosit dan makrofag pada gingiva tikus Sprague
Dawley.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental laboratoris
dengan rancangan penelitian post test only control group design. Sampel yang
digunakan dalam penelitian adalah tikus Sprague Dawley jantan yang diambil dengan
metode simple random sampling sebanyak 24 ekor yang terbagi dalam 4 kelompok
viii
yaitu, kelompok kontrol, S1 yang diberikan renjatan listrik selama 7 hari, S2 yang
diberikan renjatan listrik selama 14 hari, dan S3 yang diberikan renjatan listrik selama
28 hari. Sampel dikorbankan sesuai dengan kelompok perlakuan masing-masing, pada
S1 pada hari ketujuh, pada S2 pada hari keempat belas, dan S3 pada hari kedua puluh
delapan dan dilanjutkan dengan pengambilan jaringan dengan cara inhalasi
menggunakan eter klorid yaitu tikus dimasukkan ke dalam suatu tabung yang
didalamnya terdapat kapas yang telah diberi eter klorid, kemudian tabung ditutup,
ditunggu hingga tikus lemas, setelah itu tikus diambil, kemudian diletakkan di atas
papan gabus untuk dikorbankan. Bagian jaringan tikus yang diambil adalah bagian
mandibula bawah kanan tikus dari regio molar 1 sampai molar 3. Setelah didapatkan
jaringan dilakukan pembuatan sediaan dan selanjutnya dilakukan pengecatan
hematoxilin eosin untuk menghitung jumlah sel radang limfosit dan makrofag. Setelah
itu dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk dan uji
homogenitas dengan menggunakan uji Levene dan dilanjutkan dengan uji parametrik
menggunakan One Way ANOVA serta uji LSD.
Hasil analisis data menujukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok
kontrol dengan kelompok S1, kelompok kontrol dengan kelompok S2, kelompok
kontrol dengan kelompok S3, baik pada sel limfosit maupun makrofag. Pada analisis
data antar kelompok perlakuan tidak terjadi perbedaan yang signifikan. Penurunan sel
limfosit dan makrofag terjadi pada tikus yang diberi stresor renjatan listrik diduga
karena tikus telah mengalami keadaan stres, dimana hormon kortisol disekresi berlebih
dapat menyebabkan apoptosis dan perubahan ekspresi gen pada kedua sel tersebut
sehingga jumlah sel menurun.
Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa pemberian stresor rasa sakit berupa
renjatan listrik dapat menurunkan jumlah sel limfosit dan makrofag yang nantinya
dapat mengakibatkan tubuh rentan terhadap infeksi. Penurunan jumlah terbanyak
terdapat pada kelompok perlakuan selama 28 hari.
Collections
- UT-Faculty of Dentistry [2062]