PEMBERIAN HARTA KEKAYAAN BERDASARKAN SURAT WASIAT KEPADA AHLI WARIS (Studi Putusan Nomor 0175/Pdt.G/2012/PA.Bn)
Abstract
Penulisan skripsi ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya
ketidakpuasan pembagian warisan dalam mendapatkan harta kekayaan
berdasarkan wasiat. Wasiat seringkali menimbulkan masalah yang sering kali
muncul karena adanya salah satu ahli waris yang merasa tidak puas dengan
pembagian warisan atau wasiat yang diterimanya. Wasiat di dalam pandangan
hukum Islam mempunyai kedudukan yang penting dan selalu didahulukan
pelaksanaannya, tidak menutup kemungkinan adanya masalah atau sengketa, baik
dari pihak penerima wasiat sendiri maupun ahli waris dari si pemberi warisan.
Salah satu kasus yang timbul dari adanya sengketa pemberian harta kekayaan
berdasarkan wasiat kepada ahil waris yang di tinggalkan dari pewaris H. Ilyas
Wahid bin Abdul Wahid , sehingga munculah sengketa pembatalan wasiat.
Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang hendak dikaji meliputi 3 (tiga)
hal, yaitu : Bagaimana kedudukan surat wasiat dalam pemberian harta waris
kepada ahli waris dalam sistem pembagian harta warisan menurut hukum waris
Islam, Bagaimana keabsahan surat wasiat dalam pemberian harta waris kepada
ahli waris, apabila nilai atas objek wasiat tersebut melebihi ketentuan yang ada
dalam hukum waris Islam, dan apakah dasar pertimbangan hukum hakim dalam
putusan nomor 0175/Pdt.G/2012/PA.Bn tentang pemberian harta waris dalam
surat wasiat telah sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam .
Tujuan penulisan skripsi ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu tujuan umum
dan tujuan khusus. Metode yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam
skripsi ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum, kemudian dilanjutkan
dengan analisa bahan hukum.
Wasiat merupakan kehendak seseorang sebelum meninggal dengan cara
menyatakan kehendaknya secara lisan atau secara tertulis untuk membagi harta
peninggalannya. Berbeda dengan pembagian waris, pembagian waris secara tidak
langsung dapat terlaksana ketika pewaris tersebut meninggal. Masyarakat pada
umumnya dalam hal warisan, mereka baru pergi ke pengadilan ketika terjadi
persengketaan diantara mereka sendiri (keluarga). Hal ini seperti dalam masalah
sengketa wasiat antara Meri Agustin, S.H dan Amri Ilyas melawan Marti Zella
atas objek sengketa sebidang tanah dan bangunan seluas 1200 m2. Pewasiat
merupakan orang tua dari penggugat II dan penggugat I merupakan cucu dari
pewasiat yaitu Almarhum Ilyas Wahid dan Almarhummah Unah. Selama
perkawinan mereka memiliki 4 (empat) orang keturunan yaitu Fatmawati Ilyas,
Amri Ilyas , Zaimah Ilyas dan Halimah Ilyas. Pada tanggal 19 Desember 1980
dalam keadaan sakit Ilyas Wahid membuat surat wasiat yang diketahui oleh
seluruh ahli waris sekaligus penerima wasiat dihadapan para saksi, yaitu
pemangku Pintu Batu Amad dan Pemangku Jitra Bustami. Surat wasiat tersebut
didalamnya berisi tentang tiga poin yang pertama, Fatmawati Iljas dibagikan
wasiat sekaligus warisnya. Kedua, tersebut, juga memberikan bagian wasiatnya
untuk anak laki-lakinya Amri Ilyas, Meri Agustini sebagai Penerima Wasiat atas
Hak Waris dari Almarhumah Halimah Ilyas atas sebidang tanah pekarangan yang
xiii
terletak di Jl. Kerapu No. 49 Kel. Berkas Kec. Teluk Segara Kota Bengkulu,
dengan lebar depan dan lebar belakang adalah 20 M² dan panjang tanah ke
belakang adalah 70 M² dengan luas tangah seluruhnya adalah 1.400 M², dan juga
memberikan untuk bagian kepada Marti Zellah yang pada saat itu yang telah
mendirikan rumah dengan berbatas belakang dengan sumur saat itu. Pada point
ketiga Zaimah Ilyas dibagikan wasiat sekaligus warisnya.
Kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan yang telah dilakukan bahwa
kedudukan wasiat disini dalam hukum Islam tidak lantas menjadikan semacam
manipulasi atau penerobosan hukum bagi penerapan hukum waris Islam. Dalam
hukum waris Islam aturan tentang bagian-bagian mutlak bagi ahli waris ada
kerena untuk menjamin hak-hak bagi ahli waris. Wasiat sendiri merupakan
perluasan dari hukum waris Islam yang mengatur pembagian harta waris yang
ditinggalkan pewaris kepada ahli waris yang terhalang ataupun tidak terhalang
secara adil. Salah satu syarat wasiat adalah adanya sesuatu yang diwasiatkan (almusha
bihi) adalah milik pewaris tanpa ada tersangkut hak sedikitpun dengan
orang lain. Wasiat atas objek yang melebihi hak milik pewasiat tidak mebatalkan
wasiat , namun hanya wasiat dapat dilaksanakan hanya seluas milik pewasiat saja.
Berdasar pada pertimbangan Majelis Hakim telah mempertimbangkan adanya
fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak dan tentang hukum dari fakta-fakta
tersebut melalui pembuktian yang pada point ke 2,3,4,5,6 pertimbangan hukum
hakim telah sesuai dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai
wasiat. Namun pada point ke 7 dari pertimbangan hakim harus dihapuskan karena
pada pertimbangan hakim bagian ke dua (2) menyebutkan wasiat tersebut sah,
sehingga seharusnya hakim memutuskan untuk menghukum para penggugat dan
tergugat untuk membagi objek perkara aquo tersebut sesuai dengan bagian-bagian
yang tertera dalam surat wasiat.
Saran penulis kepada para pihak bahwa pembagian harta berdasarkan
wasiat, harus segera dilaksanakan setelah pewasiat meninggal agar tidak menjadi
bibit masalah antar keluarga ataupun orang lain. Dan juga hakim tidak boleh
memutus hal yang tidak diminta atau melebihi apa yang diminta para pihak
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]