FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BALITA DI WILAYAH PEDESAAN DAN PERKOTAAN DI KABUPATEN JEMBER
Abstract
Masa anak balita merupakan kelompok yang rentan mengalami kurang gizi
salah satunya adalah stunting. Stunting (pendek) merupakan ganguan pertumbuhan
linier yang disebabkan adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis atau penyakit infeksi
kronis maupun berulang yang ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi badan menurut
umur kurang dari -2 SD (WHO 2010 dalam Nasikhah, 2012). Berdasarkan hasil
Riskesdas 2013, prevalensi anak balita stunting di Indonesia sebesar 37,2%, yang
berarti terjadi peningkatan jika dibandingkan tahun 2010 yaitu sebesar 35,6%. Pada
tahun 2010-2013 prevalensi stunting di wilayah pedesaan lebih tinggi dibandingkan
di perkotaan yaitu sebesar 40,0% dan wilayah perkotaan sebesar 31,5 %, sedangkan
pada tahun 2013 di wilayah pedesaan adalah 42,1%, dan wilayah perkotaan sebesar
32,5% (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data yang didapatkan angka kejadian
stunting di Kabupaten Jember yaitu Puskesmas Kalisat merupakan puskesmas dengan
jumlah anak balita stunting tertinggi di daerah pedesaan yaitu sebesar 67%. Selain itu,
untuk daerah perkotaan jumlah anak balita stunting tertinggi berada di wilayah kerja
Puskesmas Patrang sebanyak 27,27%dan Puskesmas Mangli 14%. Stunting pada anak
balita merupakan konsekuensi dari beberapa faktor seperti kemiskinan termasuk gizi,
kesehatan, sanitasi dan lingkungan. Anak balita stunting akan sulit mencapai potensi
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal baik secara fisik maupun psikomotorik
yang erat kaitannya dengan kemunduran kecerdasan dan produktivitas.
Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan crosssectional.
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Patrang dan
Puskesmas Mangli untuk daerah perkotaan dan Puskesmas Kalisat untuk daerah
pedesaan. Sampel penelitian sebesar 50 anak balita untuk masing-masing daerah baik
yang berada di desa maupun kota. Analisis data terdiri dari analisis univariable dan
analisis bivariable menggunakan uji mann whitney dan chi-square dengan α = 0,05,
sedangkan untuk analisis multivariabel menggunakan uji regresi logistik.
ix
Pada analisis bivariat menunjukkan faktor yang mempengaruhi terjadinya
stunting pada anak balita yang berada di wilayah pedesaan adalah pendidikan ibu,
pendapat keluarga, pengetahuan ibu mengenai gizi, pemberian ASI eksklusif, umur
pemberian MP-ASI, tingkat kecukupan zink, tingkat kecukupan zat besi, riwayat
penyakit infeksi serta faktor genetik dari orang tua, namun untuk tingkat kecukupan
protein dan kalsium di wilayah pedesaan menunjukkan hubungan yang signifikan
sedangkan di wilayah perkotaan tidak menunjukkan adanya hubungan. Berdasarkan
hasil analisis multivariabel faktor yang paling mempengaruhi terjadinya stunting pada
anak balita di wilayah pedesaan maupun perkotaan sama yaitu tingkat kecukupan
zink.
Tingkat kecukupan protein dan kalsium di desa menunjukkan hubungan yang
signifikan, namun di perkotaan tidak menunjukkan hubungan dengan kejadian
stunting pada anak balita. Kondisi tersebut disebabkan di daerah pedesaan umumnya
sumber protein berasal dari protein nabati. Kandungan protein pada sumber bahan
makanan hewani lebih tinggi jika dibandingkan dengan sumber protein nabati.
Hubungan tingkat kecukupan kalsium dapat terjadi disebabkan jumlah anak balita
yang tingkat kecukupan kalsium kurang lebih banyak di desa dari pada di kota. Selain
itu, faktor lain seperti cara pengolahan makanan yang dapat mempengaruhi
kandungan kalsium dalam suatu makanan. Pada proses pengolahan memberikan
pengaruh terhadap kelarutan mineral dan gizi bahan pangan karena terjadi kerusakan
oleh panas yang berakibat menurunnya nilai gizi.
Tingkat kecukupan zink merupakan faktor yang paling mempengaruhi
terjadinya stunting pada anak balita antara di wilayah pedesaan dan perkotaan. Zink
merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi
kebutuhannya sangat esensial bagi kehidupan. Zink berperan dalam produksi hormon
pertumbuhan (Growth Hormon/GH). Zink dibutuhkan untuk mengaktifkan dan
memulai sintesis hormon pertumbuhan. Pada defisiensi Zn akan terjadi gangguan
pada reseptor GH, produksi GH yang resisten, berkurangnya sintesis Liver Insulin
Growth Factor (IGF)–I dan protein yang membawanya yaitu IGFBP-3.
Collections
- UT-Faculty of Public Health [2227]