MOTIF PENGEMIS ANAK “AWE-AWE” DI JALAN RAYA GUMITIR DESA KALIBARUMANIS KECAMATAN KALIBARU KABUPATEN BANYUWANGI
Abstract
Hasil penelitian menunjukkan bahwa motif anak-anak untuk menjadi
pengemis anak “awe-awe” di Jalan Raya Gumitir Desa Kalibarumanis Kecamatan
Kalibaru Kabupaten Banyuwangi ada tiga macam, yaitu motif kondisi ekonomi
keluarga, motif sosial, dan motif pemaksaan. Motif kondisi ekonomi keluarga
menjadi alasan bagi mayoritas pengemis anak untuk menjalani profesi sebagai
pengemis/peminta-minta. Indikator untuk melihat kondisi ekonomi keluarga melalui
pekerjaan dan penghasilan orang tua. Pekerjaan orang tua dari pengemis anak “aweawe”
terdiri dari dua jenis, yaitu pekerjaan sebagai buruh tani/kebun dan pengemis.
ix
Jenis pekerjaan sebagai buruh membuat penghasilan dari orang tua pengemis anak
“awe-awe” tidak menentu setiap bulannya. Selain itu, 5 dari 6 pengemis anak “aweawe”
berasal dari keluarga yang menjadi pengemis di jalan raya yang sama, sehingga
80% pengemis anak berasal dari keluarga yang juga memiliki anggota keluarga
sebagai pengemis/peminta-minta. Indikator selanjutnya untuk menjelaskan ekonomi
keluarga adalah penghasilan dari orang tua pengemis anak. Penghasilan tersebut
sejalan dengan jenis pekerjaan mereka, sehingga masih jauh di bawah UMK
Kabupaten Banyuwangi yaitu Rp 1.240.000,00, meskipun istri sudah bekerja untuk
membantu menguatkan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, jenis pekerjaan orang tua
dengan penghasilan di bawah UMK serta beberapa anggota keluarga dari pengemis
anak yang sama-sama menjalani profesi sebagai pengemis menjadi alasan pertama
seorang anak memutuskan menjalani tugas ganda sebagai pengemis anak “awe-awe”
di jalanan.
Motif yang kedua adalah motif sosial yang di dalamnya adalah adanya
pengaruh dari teman sebayanya yang sudah menjadi pengemis lebih dahulu. Hal
tersebut didasarkan bahwa anak dengan dunia yang kental dengan pergaulan teman
sepermainan sebagai tempat bersosialisasi. Pengaruh tersebut awalnya berupa ajakan
untuk bermain di tempat beberapa pengemis anak menjalani rutinitasnya di jalanan,
lantas lama-kelamaan subjek penelitian turut serta menjadi pengemis anak “aweawe”.
Motif yang terakhir adalah pemaksaan dari orang tua pengemis anak untuk
terus menjalani tugasnya sebagai pengemis di jalanan. Motif ini ditemukan pada dua
subjek penelitian yang selain diberikan kewajiban untuk berada di jalanan, mereka
juga mendapat hukuman verbal ketika mereka tidak menjalankan tugasnya. Oleh
karena itu, alasan mereka untuk menjadi pengemis anak “awe-awe” juga karena
adanya pemaksaan dari orang tua agar terus menjalani profesi sebagai peminta-minta
di jalanan.