KEWENANGAN KREDITUR UNTUK MELAKUKAN PENYITAAN BARANG JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR (Kajian Yuridis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 606 K/PDT.SUS/2011)
Abstract
Dewasa ini banyak sekali jenis-jenis pembiayaan yang ditawarkan pihak
lembaga keuangan pada masyarakat dan juga dunia usaha. Salah satu jenis
pembiayaan yang ditawarkan kepada masyarakat adalah pembiayaan konsumen.
Adanya perjanjian kredit tersebut diawali dengan pembuatan kesepakatan antara
penerima kredit (debitur) dan yang memberi kredit (kreditur) yang dituangkan
dalam bentuk perjanjian. Kreditur mempuyai hak untuk menyita barang yang
dibeli dengan kredit apabila di dalam hubungan kredit debitur tidak memenuhi
prestasi secara sukarela. Penyitaan barang itu harus ada pemberitahuan terlebih
dahulu kepada pihak debitur dan harus ada persetujuan dari pihak debitur juga.
Penyitaan barang yang dilakukan tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu pada
pihak debitur maka pihak kreditur dinyatakan wanprestasi, dikarenakan sudah ada
perjanjian bahwa pihak kreditur boleh menyita barang nasabah apabila nasabah
terlambat melakukan pembayaran. Demikian halnya dengan kasus yang terjadi,
dalam Putusan Mahkamah Agung No.606 K/Pdt. Sus/2011.
Rumusan Masalah meliputi : (1) Apakah perjanjian kredit pembiayaan
kendaraan bermotor telah diatur dalam peraturan perundang-undangan ? (2)
Apakah kreditur berhak melakukan penyitaan barang jaminan karena debitur
wanprestasi ? dan (3) Apa dasar putusan Hakim Mahkamah Agung dalam
memutus perkara Nomor : 606 K/Pdt.Sus/2011 sesuai dengan hukum yang
berlaku ? Tujuan umum penulisan ini adalah : untuk memenuhi syarat-syarat dan
tugas guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Jember, menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya
hukum perjanjian. Tujuan khusus dalam penulisan adalah untuk memahami dan
mengetahui : (1) Pengaturan perjanjian kredit pembiayaan kendaraan bermotor
dalam peraturan perundang-undangan, (2) Hak kreditur melakukan penyitaan
barang jaminan karena debitur wanprestasi dan (3) Dasar putusan hakim
Mahkamah Agung dalam memutus perkara No.606 K/Pdt.Sus/2011.
Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe
penelitian yuridis normatif, artinya permasalahan yang diangkat, dibahas dan
diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidah-kaidah atau
xiii
norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan masalah menggunakan
pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus dengan
bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan bahan non
hukum.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa hingga saat ini
di Indonesia belum ada peraturan khusus dalam bentuk undang-undang yang
mengatur tentang lembaga pembiayaan, pada hal peraturan tersebut sangat
dibutuhkan mengingat perkembangan lembaga pembiayaan tersebut sangat pesat
dewasa ini. Perjanjian pembiayaan konsumen merupakan salah satu bentuk
perjanjian khusus yang tunduk pada ketentuan Buku III KUHPerdata. Kreditur
berhak melakukan penyitaan barang jaminan karena debitur wanprestasi. Dalam
fakta terungkap bahwa telah terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh debitur
dengan adanya keterlambatan pembayaran, sehingga akhirnya kreditur melakukan
penyitaan terhadap benda jaminan. Namun demikian prosedur penyitaan yang
dilakukan oleh kreditur adalah kurang tepat sehingga merugikan debitur. Dasar
putusan Hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara No.606 K/Pdt.
Sus/2011 sudah sesuai dengan hukum yang berlaku. Pelanggaran terhadap hak
konsumen tersebut didasarkan atas tindakan BCA Finance yang melakukan
penyitaan terhadap mobil sebagai jaminan kredit pembiayaan tanpa adanya surat
peringatan atau teguran secara tertulis, sehingga dapat dikategorikan sebagai
tindakan yang tidak berdasar hukum dan mengabaikan hak-hak konsumen. Selain
itu, dalam pertimbangan majelis hakim diperoleh fakta bahwa Perjanjian Kredit
sebagai perjanjian baku bertentangan dengan Pasal 18 huruf d Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Saran yang dapat diberikan bahwa hendaknya seseorang harus lebih arif,
bijak, dan teliti dalam melaksanakan suatu perjanjian. Dalam hal tersebut terjadi
pelanggaran atas Undang-Undang Perlindungan Konsumen karena terjadi
perjanjian baku yang merugikan konsumen serta adanya tindakan penyitaan
barang jaminan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum penyitaan dalam
konstruksi hukum acara perdata. Demikin halnya penggunaan klausula baku
dalam perjanjian sewa beli otomotif harus ditinjau dan disesuaikan dengan
prinsip-prinsip Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]