KEDUDUKAN HUKUM AHLI WARIS YANG BEDA AGAMANYA DENGAN PEWARIS MENURUT HUKUM ADAT WARIS DI DESA WATU KEBO KECAMATAN ROGOJAMPI KABUPATEN BANYUWANGI
Abstract
Kehidupan sehari-hari sebuah keluarga tidak selamanya berjalan baik, yaitu
kebersamaan antara orang tua dengan anak tidak selamanya terjalin hubungan baik.
Terkadang timbul perselisihan antara orang tua dan anak-anaknya. Salah satu bentuk
sengketa yang timbul tersebut adalah karena adanya perbedaan agama antara pewaris
dengan ahli warisnya, sehingga dapat menimbulkan suatu keadaan yang tidak
harmonis dalam sebuah keluarga.
Salah satu daerah kajian dalam penulisan skripsi ini adalah desa Watukebo,
Kecamatan Rogojampi di Banyuwangi yang sebagian besar mayoritas penduduknya
adalah suku Osing yang sedikit berbeda dengan hukum adat waris Jawa yang
mayoritas beragama Islam sehingga banyak berpengaruh pada hukum adatnya
dengan hukum waris Islam. Permasalahan dalam skripsi ini meliputi 2 (dua) hal yaitu
; apakah anak yang beda agamanya dengan pewaris dapat menjadi ahli waris
menurut hukum adat waris masyarakat desa Watukebo, Kecamatan Rogojampi di
Banyuwangi, dan bagaimanakah pembagian waris terhadap ahli waris yang berbeda
agama dengan pewaris khususnya antara laki-laki dan perempuan ?
Tujuan umum dilaksanakannya penulisan hukum ini antara lain : untuk
memenuhi syarat-syarat dan tugas guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jember, menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam
bidang hukum khususnya hukum waris adat. Guna mendukung tulisan tersebut
menjadi sebuah karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan, maka metode
penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan masalah pendekatan
undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual
approach).
Hasil penelitian yang diperoleh antara lain bahwa, Sistem pembagian waris
yang dianut masyarakat adat di desa Watukebo, Kecamatan Rogojampi yakni sistem
pewarisan bilateral yang berarti sistem pertalian keluarga atau keturunan menurut
garis bapak ibu. Dalam permasalahan ahli waris beralih agama, apabila dilihat dari
Hukum Waris Adat Osing tetap mendapatkan bagian warisan, karena dianggap
sebagai penerus keturunan keluarga dan pelaksana kewajiban-kewajibannya,
sehingga merupakan ahli waris yang sah menurut garis keturunan dengan pewaris.
xiii
Pada masyarakat adat Osing di Watukebo, umumnya anak laki-laki mempunyai
kedudukan lebih karena dianggap lebih besar kewajibannya.
Menurut hukum waris adat di Desa Watukebo, Kecamatan Rogojampi di
Banyuwangi, pada dasarnya semua anak baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya. Bagian dari tiap
anak dengan tidak memandang lelaki atau perempuan, lahir lebih dahulu atau lahir
kemudian, serta dengan tidak memandang agamanya, mempunyai hak yang sama
atas harta peninggalan bapak dan ibunya. Demikian, halnya dengan anak yang
berpindah keyakinan agama tetap memperoleh hak waris yang sama. Perbedaan
agama antara orang tua dan anaknya hanya dianggap sebagai perbedaan keyakinan,
namun demikian hak dan kewajiban untuk saling menghormati, menyayangi dan
menjaga tak akan pernah hilang antara orang tua dan anak, sehingga dengan
demikian kedudukan anak yang berpindah agama atau berbeda agama tetap
memperoleh bagian waris
Saran yang diberikan bahwa, hendaknya nilai-nilai hukum waris adat di
masyarakat adat di desa Watukebo, Kecamatan Rogojampi tetap dijaga dan
dilestarikan dengan baik. Dalam kehidupan Hukum adat Osing di Banyuwangi, lebih
mengutamakan kebersamaan, kekeluargaan dan persatuan guna terciptanya
kerukunan hidup bersama sehingga dalam hubungan yang demikian itu, orang akan
lebih mengutamakan kewajibannya dari pada haknya karena landasan dari pada
hukum adat adalah landasan hidup bersama dan bukan untuk kepentingan individu.
Setiap orang tentu mempunyai hak dan kewajiban karena antara hak dan kewajiban
tidak dapat dipisahkan.
Hendaknya jika terjadi perselisihan atau sengketa waris dalam keluarga
dalam adat suku Osing, dapat dilakukan dengan musyawarah diantara ahli waris di
dalam keluarganya. Bilamana terjadi perbedaan pendapat karena ketidak-rukunan
dalam keluarga maka musyawarah itu dapat diajukan kepada ketua adat (Bendesa).
Apabila usaha ketua adat tidak mendatangkan hasil maka perselisihan pembagian
harta warisan dapat dimusyawarahkan dengan kepala desa untuk dapat dimintakan
petuah-petuah sesuai dengan aturan-aturan atau hukum adat yang berlaku. Jika masih
juga terdapat perdebatan maka langkah terakhir adalah mengajukan ke pengadilan
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]