IMPLIKASI KEPEMILIKAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN OLEH MALAYSIA ERDASARKAN KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL NOMOR 102 TANGGAL 17 DESEMBER TAHUN 2002
Abstract
Hukum internasional sebagai bagian daripada ilmu pengetahuan
hukum telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan khususnya ruang
lingkup yang tercakup dalam pengertian tradisional subyeknya hanya dibatasi
dengan negara sebagai satu-satunya. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis
tertarik untuk membahas lebih lanjut hal tersebut dalam suatu karya ilmiah
berbentuk skripsi dengan judul yaitu : “IMPLIKASI KEPEMILIKAN
PULAU SIPADAN DAN LIGITAN OLEH MALAYSIA
BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
NOMOR 102 TANGGAL 17 DESEMBER TAHUN 2002”.
Rumusan masalah yang hendak dibahas dalam skripsi ini adalah
proses lepasnya pulau sipadan dan ligitan, upaya hukum Pemerintah Indonesia
atas lepasnya pulau sipadan dan ligitan, kebijakan hukum yang dilakukan
Pemerintah Indonesia untuk menjaga pulau-pulau terluar Negara Republik
Indonesia.
Tujuan Penelitian skripsi ini terbagi atas tujuan umum dan tujuan
khusus yang diharapkan tercapai dalam penulisan skripsi ini. Metode penelitian
yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan masalah yang
berupa pendekatan Undang-Undang (Statue approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, serta menggunakan analisis hukum
dengan metode deduktif.
Berdasarkan uraian dalam pembahasan diatas maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut ini : pertama, Negara Malaysia yang membuat peta
sepihak ( unilateral ) pada tahun 1979 yang awalnya luas wilayah lautannya
hanya sekitar 3 mil berubah menjadi 12 mil serta, pembangunan pengelolaan
dan fasilitas wisata di kedua pulau itu serta Adanya mercusuar yang dibangun
di Pulau Sipadan tahun 1962 dan di pulau Ligitan tahun 1963, yang sampai saat
ini dipelihara oleh otoritas Malaysia dan Malaysia berpendapat bahwa
pembangunan dan pemeliharaan mercusuar tersebut sebagai pelaksanaan
xii
otoritas Pemerintah Malaysia. Kedua, Upaya hukum Pemerintah Indonesia atas
lepasnya pulau sipadan dan ligitan adalah sesuai dengan Pasal 34 Statuta
Mahkamah Internasional yang berisikan “Hanya negara-negara yang boleh
menjadi pihak dalam perkara-perkara di muka Mahkamah”. Maka di buatlah
perjanjian khusus ( Special Agreement ) antara Indonesia dengan Malaysia
sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional ialah:
“Yurisdiksi Pengadilan mencakup semua sengketa yang diserahkan oleh para
pihak dan semua persoalan yg ditetapkan dalam Piagam PBB yg dituangkan
dalam perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional yang
berlaku”. Indonesia dan Malaysia telah memenuhi syarat Pasal 43 ayat 2
Statuta Mahkamah Internasional yang isinya “Proses tertulis dalam
persidangan harus dikomunikasikan oleh para pihak yang bersengketa kepada
Mahkamah terlebih dahulu sebelum adanya peringatan (Memorial), kontra
peringatan(CounterMemorial)hingga pada jawab-menjawab (Reply) dan juga
membawa dokumentasi serta surat-surat bukti yang mendukung”. Indonesia
dan Malaysia juga didampingi saksi ahli, advokat serta para ahli yang sesuai
dengan Pasal 43 ayat 5 Statuta Mahkamah Internasional. Ketiga, Kebijakan
hukum yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menjaga pulau-pulau
terluar Negara Republik Indonesia adalah bersama-sama dengan Kementerian
Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri serta dengan Kementerian Luar Negeri
harus bersatu dalam menjaga pulau-pulau terdepan Negara Indonesia dengan
bekerjasama dengan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik
Indonesia dalam pengurusan pulau-pulau terluar Indonesia
Adapun saran dari penulis yaitu, Pemerintah pusat dan Pemerintah
Daerah seharusnya lebih displin lagi dalam hal merapikan bukti-bukti konkret
baik itu berupa peta lama, dokumen-dokumen lama yang terkait pemilik sah
suatu wilayah tertentu serta tidak lupa wilayah tersebut didaftarkan kepada
Perserikatan Bangsa-Bangsa lalu dibuatkan Undang-Undang tentang
pembentukan suatu wilayah yang baru supaya ada kekuatan hukum tetap,
Seharusnya bercermin pada masalah Sipadan dan Ligitan Pemerintah pusat
melalui Departemen Luar Negeri dengan politik bebas aktif seharusnya
xiii
melakukan pertemuan dalam satu kawasan misalnya ASEAN untuk meminta
dukungan kepada negara-negara anggota untuk kasus penyelesaiannya,
Pemerintah Indonesia jangalah terlalu terburu-buru dalam setiap
menyelesaikan kasus sengketa melihat pada masa lalu seharusnya secepatnya
perumusan AHC ( ASEAN High Council )supaya setiap kasus negara-negara
ASEAN harus diselesaikan sendiri pada lingkup ASEAN dahulu bila benarbenar
tidak bisa baru bersama-sama dibawa ke Mahkamah Internasional,
Indonesia negara yang sangat luas dilakukan penjagaan jadi untuk pembelian
Alutsista (Alat Utama Sistem Persenjataan)negara Indonesia sudah sangat
ketertinggalan zaman bahkan ada alutsista sudah uzur, pembelian Alutsista
baru harus memenuhi standar TNI bahkan TNI meminta para penjual senjata
untuk melakukan transfer teknologi ( Transfer of Technology/ ToT )supaya
bangsa Indonesia bisa lebih mandiri lagi dalam hal pembuatan Alutsista ini.
Pemerintah pusat juga seharusnya meminta kepada Provinsi-Provinsi terkaya
se Indonesia seharusnya membantu Pemerintah pusat dalam pengadaan
Alutsista ini
Collections
- UT-Faculty of Law [6218]