STUDI PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN DIAGNOSA SIROSIS HEPATIK di RSD Dr. Soebandi Jember Tahun 2009
Abstract
Sirosis hepatik merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai di
seluruh dunia termasuk Indonesia dengan insiden yang cukup tinggi. Sirosis hepatik
merupakan suatu kondisi kerusakan jaringan hati kronik yang irreversibel dimana hati
tidak dapat dapat diperbaiki lagi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
profil pasien (usia, jenis kelamin dan komplikasi serta persentase tingkat kejadian
penyakit), dan profil penggunaan obat yang diberikan pada pasien rawat inap dengan
kasus sirosis hepatik di RSD dr. Soebandi Jember.
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi Jember pada
bulan Mei sampai Juni 2010. Penelitian dilakukan secara non-eksperimental dengan
rancangan deskriptif, dan retrospektif dengan menggunakan data rekam medik selama
1 Januari 2009-31 Desember 2009. Sampel adalah data rekam medik pasien rawat
inap dengan diagnosa sirosis hepatik. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode
total sampling yang berjumlah 44. Data-data kualitatif yang diperoleh disajikan
dalam bentuk uraian atau narasi, sedangkan data kuantitatif disajikan dalam bentuk
tabel dan grafik.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini antara lain: Berdasarkan distribusi usia
pasien diketahui pada usia 20-29 tahun sebanyak 3 pasien (7%), usia 30-39 tahun
sebanyak 4 pasien (9%), usia 40-49 tahun sebanyak 10 pasien (23%), usia 50-59
tahun sebanyak 12 pasien (27%), usia 60-69 tahun sebanyak 12 pasien (27%), usia
70-79 tahun sebanyak 3 pasien (7%). Berdasarkan distribusi jenis kelamin diketahui
pasien laki-laki pada sirosis hepatik tanpa komplikasi sebanyak 4 orang (8%), asites
sebanyak 13 orang (26%), varies esofagus sebanyak 1 orang (2%), spontaneous
bacterial peritonitis (SBP) sebanyak 1 orang (2%), ensefalopati hepatik (EH)
sebanyak 3 orang (6%) dan hematemesis-melena sebanyak 10 orang (20%)
sedangkan pasien perempuan pada sirosis hepatik tanpa komplikasi sebanyak 7 orang
(14%), asites sebanyak 7 orang (14%), ensefalopati hepatik (EH) sebanyak 2 orang
(4%) dan hematemesis-melena sebanyak 2 orang (4%). Presentase tingkat kejadian
kasus sirosis hepatik dengan atau tanpa komplikasi hipertensi portal di RSD dr.
Soebandi Jember sebesar 0,3%. Angka sirosis hepatik pada beberapa rumah sakit di
Indonesia adalah sebesar 4,7 – 7,3 % per tahun (Djaya, 2004).
Obat antibiotik diberikan sebagai terapi profilaksis dan pengobatan pada
pasien dengan resiko infeksi bakteri yaitu pada asites, spontaneus bacterial
peritonitis, hematemesis-melena dan ensefalopati hepatik. Antibiotika yang paling
banyak digunakan pada pasien sirosis hepatik adalah golongan sefalosporin yaitu
sefotaksim sebesar 62,74% dan seftriakson sebesar 29,42%. Pengguanaan obat
diuretikum terbanyak terdapat pada pasien dengan komplikasi asites yaitu diberikan
terapi diuretik furosemid (31,15%) dan spironolakton (24,59%). Propanolol yang
diberikan untuk pencegahan perdarahan (hematemesis-melena) yaitu sebesar 37,5%.
Ketidakberhasilan terapi nampak pada pasien dengan komplikasi ensefalopati hepatik
karena tidak diberikan terapi dengan laktulosa. Terapi cairan resusitasi yang diberikan
yaitu albumin sebesar 45,45% terutama pada pasien asites. Cairan penyeimbang asam
amino rantai cabang (comafusin, aminofusin dan tutofusin) diberikan sebesar 22,72%
pada pasien ensefalopati hepatik.
Penggunaan obat pada sirosis hepatik memerlukan perencanaan, pemilihan
obat, pemantauan akan respon terapi yang diberikan dan penyesuaian dosis obat yang
dibutuhkan pada sirosis hepatik dengan banyaknya komplikasi yang berbahaya
diperlukan terapi untuk mengurangi resiko komplikasi karena jaringan hepar pada
sirosis tidak dapat diperbaiki lagi. Oleh karena itu, perlu dilakukan kerjasama antar
profesi kesehatan (antara farmasis dan dokter) serta penderita agar diperoleh hasil
yang optimal.
Collections
- UT-Faculty of Pharmacy [1469]