ANAK ANGKAT BAGI WARIA (Studi Deskriptif Pada Komunitas Waria di Kabupaten Banyuwangi, Nganjuk dan Jember)
Abstract
Sebagai manusia, waria juga memiliki keinginan untuk menikmati hidup
sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya. Hal ini tak terlepas bahwa waria
juga manusia biasa yang memiliki naluri sama dengan masyarakat ‘normal’. Adalah
hal yang wajar apabila waria mengharapkan kehadiran anak untuk melengkapi
kebahagiaan. Demikian pula waria yang berumah tangga juga menginginkan
kehadiran anak. Karena pasangan waria tidak bisa menjalankan fungsi reproduksi,
maka berbagai cara yang dilakukan untuk memperoleh anak. Misalnya dengan
mengangkat anak dari keluarga, teman dan tetangga.
Banyak polemik yang muncul di masyarakat dengan tindakan yang dilakukan
oleh waria. Baik pernikahan yang dilakukannya serta tindakan mengangkat anak.
Dimana masyarakat khawatir jika anak yang diasuh dan dirawat waria akan memiliki
karakter diri yang tidak jauh berbeda dengan orang tuanya. Oleh karena adanya
berbagai polemik yang muncul akibat dari perkawinan serta mengangkat anak yang
dilakukan oleh waria, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hal
tersebut. Ada berbagai pertanyaan yang ingin coba digali jawabannya oleh peneliti
yaitu mengenai makna anak bagi waria. Kemudian jika waria memiliki anak,
bagaimana cara waria sebagai orang tua mendidik anak mereka, padahal menurut
pandangan masyarakat mereka termasuk pribadi menyimpang. Bagaimana proses
sosialisasi antara orang tua sejenis tersebut terhadap anaknya tentang nilai dan norma
yang terdapat di masyarakat.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif dengan mengambil lokasi penelitian tiga wilayah yaitu Kabupaten
Banyuwangi, Nganjuk dan Jember dengan menggunakan metode purposive. Cara
penentuan informan dengan menggunakan metode snowball sampling. Pengumpulan
data penelitian melalui observasi, serta wawancara mendalam. Pemeriksaan
keabsahan data dengan menggunakan member check, yaitu peneliti melakukan cek
interpretasi data dengan subjek penelitian dan informan dari mana data itu diperoleh.
Menurut waria, anak memiliki makna sosial, makna ekonomi, dan psikologi.
Pertama, makna sosial yaitu anak merupakan lambang kebanggaan orang tua dan
dengan mempunyai anak dapat membuat diri waria menjadi lebih bertanggungjawab.
Kedua, makna ekonomi adalah membuat waria semangat dalam bekerja, serta
mengharapkan anak dapat merawat dan menjaga orang tua (waria) kalau sudah tua
dan tidak mampu lagi untuk bekerja. Ketiga, makna psikologis adalah pemenuhan
kebutuhan batin. Kehadiran anak juga menambah keeratan hubungannya dengan
pasangan. Adapun nilai psikologis anak dapat diartikan sebagai pandangan mereka
terhadap keberadaan anaknya dalam hubungannya dengan aspek kejiwaan atau
emosional mereka.
Dalam mensosialisasikan nilai sosial pada anak, waria belajar dari pengalaman
sendiri. Waria selalu memperhatikan serta mengarahkan anak dalam bermain. Dalam
mengenalkan nilai-nilai yang ada di masyarakat, waria mengenalkan nilai-nilai pada
anak ketika anak sejak kecil. Anak dididik untuk tidak memiliki sifat sombong, suka
mengganggu teman, dididik untuk suka menolong, dan bersikap sopan pada setiap
orang khususnya yang berusia lebih tua. Dalam pengenalan identitas diri anak pada
anak, misalnya pengenalan terhadap jenis kelamin anak kepada anak, waria
mengenalkannya sejak anak masih berusia 2-3 tahun. Namun, ada waria yang tidak
menjelaskan jenis kelamin anak kepada anak, dengan alasan kelak anak akan tahu
dengan sendirinya baik dari lingkungan bermain maupun dari sekolah. Begitu pula
terhadap penjelasan akan jati diri orang tua yang sebenarnya, dilakukan ketika anak
sudah masuk usia sekolah. Ada berbagai macam respon dari anak, ada yang terkejut
dan ada yang merasa bangga dengan keadaan orang tuanya. Penerimaan anak
terhadap keadaan orang tua juga tidak lepas dari peran anggota keluarga lainnya.
Waria dalam mensosialisasikan nilai sosial pada anak tidak ada perbedaan
dengan orang tua normal. Serta anak yang dibesarkan oleh waria juga tidak perbedaan
dengan anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua normal. Namun, tidak menutup
kemungkinan ada perbedaan dalam diri antara anak yang memiliki orang tua “waria”
dengan anak yang memiliki orang tua normal. Anak yang memiliki orang tua “waria”
mampu terbentuk sebagai diri yang introvet (tertutup) akibat dari rasa
ketidakterimaan diri anak terhadap keberadaan orang tuanya yang tidak sama dengan
orang tua pada umumnya. Rasa malu dari ejekan teman-teman sebayanya akan
membuat anak menjadi anak yang pendiam dan menutup diri dalam pergaulan.