PERLAWANAN PETANI TERHADAP RENCANA PEMBANGUNAN WADUK NIPAH DI KECAMATAN BANYUATES KABUPATEN SAMPANG MADURA TAHUN 1993
Abstract
Keresahan penduduk delapan desa semakin meningkat ketika, beberapa
tokoh mereka ditangkap dan di bawa ke Koramil, dan pada saat penangkapan
tersebut kepala desa memaksa penduduk delapan desa untuk menandatangani
surat yang menurut mereka berisi pernyataan bahwa jika mereka menandatangani
surat ini, maka pengukuran tanah akan dihentikan. Akan tetapi, setelah penduduk
memberikan tanda tangan, beberapa hari kemudian Tim pengukur tanah dengan
didampingi oleh aparat Polsek dan Koramil kembali lagi melakukan pengukuran
di atas lahan penduduk, dan ternyata surat yang sudah ditandatangani oleh
penduduk tersebut berisikan persetujuan bahwa penduduk tidak merasa keberatan
tanahnya diukur. Hal ini ditambah lagi adanya ancaman dari kepala desa bahwa
siapa saja yang tidak mau tanahnya diukur akan dihukum.
Beberapa hari kemudian setelah tokoh-tokoh lokal seperti, Hudhori,
Ma’ruf, dan Size dilepaskan, Tim pengukur tanah kembali melakukan pengukuran
di Desa Planggaran Barat. Kembali penduduk memprotes tindakan Tim pengukur
yang sedang mengukur tanah mereka. Atas kejadian ini pengukuran tanah untuk
sementara dihentikan. Akan tetapi, pihak Polsek yang mendampingi Tim
pengukur kembali lagi ke lokasi. Mereka mencari Hudhori yang di duga menjadi
penghasut atas protes penduduk pagi tadi. Ketika sampai di rumah Hudhori dan
tidak menemukan orangnya, aparat Polsek marah dan melimpahkan semua
kekesalannya dengan masuk ke musalla tanpa melepaskan sepatu dan merusak
peralatan pengeras di atas pohon mangga. Kejadian ini dimaknai oleh penduduk
sebagai penghinaan terhadap agama yang mereka anut. Dengan secara tidak
langsung kejadian ini semakin antipati terhadap Tim pengukur dan aparat Polsek
dan koramil.
Kekecewaan penduduk petani delapan desa yang telah dilanggar etika
kesopanan dan harga diri mereka, yaitu agama dan kuburan yang sangat dihormati
memuncak ketika Bupati Sampang mengeluarkan dugaan bahwa proses
pembebasan tanah untuk pembangunan waduk Nipah mengalami hambatan ini
disebabkan oleh kekhawatiran tokoh lokal/ulama terpotong fungsinya sebagai
pemimpin informal. Dugaan yang negatif ini secara tidak langsung memicu
kemarahan penduduk, karena mereka beranggapan bahwa aparat pemerintah
sudah keterlaluan dalam melecehkan harga diri mereka, dimana kiai dan tokoh
lokal dianggap sebagai pemimpin yang takut tidak berfungsi.
Kemarahan,keresahan, dan kekecewaan penduduk delapan desa mencapai
titik klimaksnya pada tanggal 25 September 1993, ketika Tim pengukur tanah
dengan didampingi 20 aparat Polres dan Kodim melakukan pengukuran tanah di
desa Planggran Barat. Dengan meneriakkan yel-yel para penduduk delapan desa
mendesak Tim pengukur untuk menghentikan proses pengukuran. Guna
membubarkan protes petani delapan desa aparat Polres dan Kodim melepaskan
tembakan peringatan. Ketika melihat melihat petani delapan desa tetap mendesak
maju ke lokasi pengukuran, aparat Polres dan Kodim melepaskan rentetan
tembakan sungguhan. Akibat rentetan tembakan ini empat orang menjadi korban.
Insiden yang menewaskan empat orang ini mengundang perhatian masyarakat
luas. Seluruh tokoh-tokoh kiai melayangkan surat keprihatian pada gubernur Jawa
Timur dan Menteri Dalam Negeri atas peristiwa tersebut, dan menuntut para
pelakunya dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, aparat yang
bertanggung jawab atas insiden tersebut tidak pernah mendapat hukuman sesuai
dengan kesalahannya. Mereka hanya dimutasikan atau ditarik kembali ke Markas
Besar kesatuannya, bahkan Bupati Sampang, Bagus Hinayana, tetap menjalankan
jabatannya sampai akhir jabatannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlawanan petani delapan desa
terhadap pemerintah yang menjalankan proses pembangunan waduk Nipah tidak
pernah mengalami kemenangan. Mereka bahkan mengalami kerugian dengan
kehilangan empat orang warganya yang meninggal saat insiden 25 September
1993.