ANALISIS YURIDIS UNSUR MELAWAN HUKUM DAN MENYALAHGUNAKAN WEWENANG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Abstract
Pemberantasan tindak pidana korupsi ini berhubungan erat dengan
kebijakan formulasi dalam penegakan hukum khususnya kriminalisasi yakni
perihal perbuatan melawan hukum. Banyak kesalahan yang dibuat oleh pembuat
undang-undang dalam merumuskan pasal-pasal dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga menimbulkan interpretasi yang
berbeda-beda dari aparat penegak hukum yang menyebabkan timbulnya
ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Rumusan
masalah dalam skripsi ini yaitu apakah terdapat perbedaan antara unsur melawan
hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dengan unsur menyalahgunakan wewenang dalam
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU PTPK) dan apakah unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1)
dan unsur menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 UU PTPK dapat
diterapkan dalam satu surat dakwaan pada kasus korupsi.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis apakah
terdapat perbedaan antara unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dan unsur
menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 dan untuk mengetahui serta
menganalisis apakah unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dan unsur menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 UU PTPK dapat diterapkan dalam satu surat dakwaan pada kasus korupsi.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.
Kesimpulan yang diambil yaitu, perbedaan unsur melawan hukum dalam
Pasal 2 ayat (1) dan unsur menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 UU PTPK
adalah mengenai kualifikasi subjek deliknya. Dalam Pasal 2 ayat (1) setiap orang
termasuk korporasi dapat menjadi subjek delik, sedangkan Pasal 3 subjek
deliknya hanya orang yang mempunyai jabatan atau kedudukan dan Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 tidak dapat diterapkan dalam satu surat dakwaan, namun
seringkali Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 disusun oleh Penuntut Umum
menggunakan dakwaan subsidair. Pasal 2 ditempatkan pada dakwaan primair,
sedangkan Pasal 3 dakwaan subsidair. Seharusnya kedua pasal tersebut tidak
digabungkan dan dibuat dalam dakwaan terpisah. Pasal 3 dapat dijadikan
dakwaan primair bagi tersangka yang mempunyai jabatan atau kedudukan, dan
subsidairnya dapat menggunakan pasal lain. Adapun saran-saran yang
disampaikan yaitu harus dilakukan pembaharuan terhadap UU PTPK, yaitu
dengan cara mengubah rumusan delik dalam Pasal 2 dan Pasal 3 yang menjadi
bagian inti dari tindak pidana korupsi yang menyangkut kualifikasi subjek tindak
pidana korupsi, yang ada di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK , sehingga
semua orang dapat dikualifikasikan sebagai subjek tindak pidana korupsi dapat
dijerat dengan pasal tersebut dan unsur-unsur delik yang ada dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 UU PTPK subtansinya harus diperbaiki agar tidak menimbulkan beragam
penafsiran oleh aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum tindak
pidana korupsi, agar tidak menyebabkan adanya ketidakpastian hukum bagi
pencari keadilan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6211]