KEDUDUKAN DAN PERANAN WAKIL MENTERI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.79/PUU-IX/2011
Abstract
Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, Presiden dibantu oleh menteri-
menteri negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dalam ketentuan
Pasal 10 Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
menyatakan bahwa dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan
secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 tersebut memberikan keleluasaan bagi
presiden untuk menentukan apakah kehadiran wakil menteri diperlukan atau tidak.
Pengangkatan wakil menteri tersebut ternyata menimbulkan diskusi yang
berkepanjangan. Ada dua persoalan pokok yang menjadi topik pembicaraan.
Pertama, menyangkut administratif dan kedua, bertumpu pada urgensi adanya
lembaga wakil menteri yang akan menyangkut, bukan saja bertambah "tambunnya"
pemerintahan, tetapi terlebih utama lagi, berdampak pada anggaran yang harus
disediakan. Dalam sidang putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Pasal 10
Undang Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara melalui Dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi No.79/PUU-IX/2011 ; Mahkamah Konstitusi
memutuskan penjelasan Pasal 10 Undang Undang tersebut tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945.
Permasalahan dalam skripsi ini meliputi 3 (tiga) hal, yaitu (1) Apakah latar
belakang pembentukan wakil menteri pada beberapa kementerian ? (2) Bagaimana
hubungan antara menteri dengan wakil menteri ? dan (3) Bagaimanakah kedudukan
dan peranan wakil menteri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.79/PUU-
IX/2011 ? Tujuan umum dilaksanakannya penulisan hukum ini antara lain : untuk
memenuhi syarat-syarat dan tugas guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jember, menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam
bidang hukum khususnya Hukum Tata Negara terkait Kedudukan dan Peranan Wakil
Menteri Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi No.79/PUU-IX/2011. Sedangkan metode penelitian dalam penulisan
skripsi ini untuk pendekatan masalah menggunakan pendekatan undang-undang
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum
yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan non hukum sebagai penunjang.
Hasil penelitian yang diperoleh antara lain bahwa latar belakang dalam
mengangkat jabatan wakil menteri tersebut adalah untuk meningkatkan efektivitas
dan efisiensi pelaksanaan fungsi-fungsi kementerian negara. Sebelumnya, Indonesia
tidak pernah mengenal adanya jabatan wakil menteri (wamen), karena jabatan
tertinggi pada kementerian negara dipegang oleh menteri sebagai pembantu presiden.
Namun, seiring dengan perjalanan waktu mengikuti perkembangan zaman dan
kompleksitas fungsi-fungsi kementerian sehingga dirasa perlu untuk mengangkat
wakil menteri yang bertugas membantu menteri dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Wakil menteri diberikan kewenangan untuk membantu tugas-tugas
kepemimpinan menteri, termasuk mewakili menteri dalam sidang-sidang kabinet jika
menteri berhalangan, juga menghadiri sidang-sidang setingkat menteri di diberbagai
forum. Namun, wakil menteri tidak memiliki hak suara dalam sidang-sidang kabinet
dan tidak berwenang mengambil keputusan dalam berbagai forum. Dilihat dari segi
kewenangannya, jabatan wakil menteri bukanlah jabatan yang strategis. Wakil
menteri hanya berhak mewakili menteri dan tidak punyak hak mengambil keputusan
serta hak suara dalam sidang-sidang kabinet. Wakil menteri adalah subordinasi
menteri karena kewenangan utama tetap berada di tangan menteri. Wakil menteri
merupakan jabatan birokrasi tertinggi di Indonesia, tetapi tidak memiliki
kewenangan untuk membuat keputusan tanpa persetujuan menteri.
Pengangkatan wakil menteri dianggap bisa menimbulkan masalah dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan ke depan. Keberadaan wakil menteri itu
dikhawatirkan dapat memicu benturan dan konflik baru di internal kementerian.
Gesekan itu berpotensi terjadi karena umumnya kapasitas para wakil menteri lebih
baik dibandingkan dengan menteri. Para wakil menteri itu memiliki latar belakang
pendidikan dan pengalaman birokrasi yang relatif bagus. Selain itu, pangkat dan
golongan wakil menteri juga setara dengan sekretaris jenderal (sekjen) dan direktur
jenderal (dirjen) sehingga kemungkinan para dirjen dan sekjen tersebut akan lebih
nyaman berkoordinasi dengan menteri. Konflik internal kementerian berpotensi
terjadi karena tidak ada aturan yang jelas mengenai tugas wakil menteri.
Collections
- UT-Faculty of Law [6257]