CACAT FISIK SESEORANG BUKAN MERUPAKAN HALANGAN UNTUK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.295 K/Ag/2005.)
Abstract
Kehidupan yang tenteram dengan perasaan cinta kasih, saling pengertian  
antara suami isteri, karena mereka menyadari bahwa masing-masing sebagai 
pakaian bagi pasangannya, itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama 
perkawinan. Suasana kehidupan keluarga yang demikian, dapat diwujudkan 
dengan mudah apabila perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain 
antara suami isteri ada dalam sekufu ( kafa’ah ). Oleh karena itu setiap orang yang 
ingin membina rumah tangga yang Islami, maka Islam telah memberikan kriteria 
tentang calon pasangan yang ideal : Harus Kafa’ah (menurut Islam), dan Shalihah. 
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, dalam perkawinan, dipandang sangat 
penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha 
untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami akan terwujud. Tetapi 
kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlak 
seseorang , bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Maka berdasarkan 
pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 39 sampai pasal 44 
Kompilasi Hukum Islam, tidak dijelaskan secara tegas bahwa cacat fisik 
merupakan halangan perkawinan. Sehingga bagi orang Islam harus kembali pada 
Kesesuaian hukum Islam sesuai pasal 2 ayat (1). Perkawinan adalah sah apabila 
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 
seseorang yang mengalami cacat fisik dapat melangsungkan perkawinan, karena 
tidak ada halangan syar’i . Sedang hukum Islam dalam melangsungkan 
perkawinan wajib ada kesetaraan bidang akhlak, bukan bidang lainnya. 
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk membahas 
persoalan tersebut dalam judul “ CACAT FISIK SESEORANG BUKAN 
MERUPAKAN HALANGAN UNTUK MELANGSUNGKAN 
PERKAWINAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia 
No.295 K/Ag/2005.)”. 
Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah apakah cacat 
fisik seseorang termasuk salah satu halangan perkawinan, apa pertimbangan 
hukum hakim Pengadilan Agama Lumajang menolak permohonan perkawinan 
xii 
 
dalam Perkara No.8/Pdt.P/2005/PA.Lmj dan apa pertimbangan hukum hakim 
Mahkamah Agung dalam putusan Perkara No.295 K/Ag/2005.  
Tujuan umum penulisan skripsi ini salah satunya untuk memenuhi dan 
melengkapi tugas serta syarat-syarat yang diperlukan untuk meraih gelar Sarjana 
Hukum di Universitas Jember. Tujuan khususnya untuk menjawab rumusan 
masalah yang telah ditetapkan. 
Penulis skripsi ini menggunakan metode dengan tipe yuridis normatif. 
Dengan pendekatan masalah yaitu pendekatan Undang-Undang (statute 
approach) . Sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. 
Analisis bahan hukum dengan cara mengindentifikasi fakta hukum untuk 
menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan, yang selanjutnya menarik 
kesimpulan dalam bentuk argumentasi.  
Hasil yang diperoleh dari pembahasan adalah bahwa cacat fisik yang 
dialami oleh calon suami pemohon bukan merupakan halangan untuk 
melangsungkan perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 Undang-
Undang Perkawinan jo. Pasal 39 sampai pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Dasar 
pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Lumajang dalam penetapan berdasarkan 
bahwa cacat fisik yang dialami oleh calon suami tersebut dipandang tidak sekufu 
(setara) dengan pemohon, namum terdapat perbedaan opini antara Ketua Majelis 
dengan Hakim anggota. Dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung bahwa 
Pengadilan Agama Lumajang telah salah dalam menerapkan hukum, dan telah 
keliru dalam memberikan pertimbangan terutama yang menyangkut cacat fisik 
yang dialami oleh calon suami Pemohon Kasasi. Disamping itu antara pemohon 
kasasi dengan calon suaminya tidak ada halangan syar’i untuk menikah. 
Saran yang diberikan oleh penulis seorang wanita yang akan 
melaksanakan perkawinan tanpa persetujuan orang tua (wali nikah) harus 
menyadari betul akan akibat yang dilaksanakannya setelah ia melaksanakan 
perkawinan, dan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara terutama tentang 
perkara permohonan penetapan wali adhal, hendaknya sangat memperhatikan 
kepentingan calon suami isteri sebagai pemohon, sebab yang akan menjalani 
kehidupan rumah tangga tersebut adalah calon suami isteri bukan wali nikahnya.
Collections
- UT-Faculty of Law [6385]
