KAJIAN YURIDIS TENTANG PERCERAIAN DENGAN ALASAN PERTENGKARAN KARENA KETIDAKMAMPUAN EKONOMI SUAMI (MU’SIR) MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Abstract
Penulisan skripsi ini pada dasarnya, dilatar belakangi dengan lazimnya perceraian
yang terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh berbagai faktor, yang salah satunya
adalah fasakh karena suami tidak mampu (Mu’sir). Hal ini pula menuntut adanya
pengaturan yang dapat mengakomodasi semua permasalahan yang diajukan ke
pengadilan. Dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Peraturan Pelaksana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan alasan-alasan mengenai terjadinya perceraian. Namun demikian, tidak dapat
mengakomodasi setiap permasalahan yang ada.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dan
menganalisa lebih lanjut beberapa persoalan yang berhubungan dengan perceraian yang
didasarkan pada alasan pertengkaran karena ketidakmampuan ekonomi suami (Mu’sir)
dalam suatu karya ilmiah, berbentuk skripsi dengan judul: ”Kajian Yuridis Tentang
Perceraian dengan Alasan Pertengkaran karena Ketidakmampuan Ekonomi Suami
(Mu’sir) Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”.
Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini meliputi 2 (dua) hal. Pertama,
bagaimanakah penyelesaian perceraian dengan alasan pertengkaran karena
ketidakmampuan ekonomi suami (Mu’sir) menurut perspektif doktrin dan Undangundang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua, bagaimana pengaturan
ketidakmampuan ekonomi suami (Mu’sir) sebagai salah satu alasan perceraian menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui maksud dari
permasalahan yang dibahas. Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah
pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute
approach), sumber bahan hukum yaitu terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan non hukum, sedangkan analisis bahan hukum yang digunakan
adalah dengan menggunakan metode deduktif.
Kesimpulan yang didapat dari penulisan skripsi ini adalah: pertama, penyelesaian
perceraian dengan alasan pertengkaran karena ketidakmampuan ekonomi suami (Mu’sir) menurut perspektif doktrin adalah dapat dilakukan oleh seorang istri ketika seorang
suami benar-benar tidak mampu dalam memberikan nafkah kepada keluarganya akan
tetapi harus melalui pembuktian terlebih dahulu. Sebagaimana yang terdapat dalam
beberapa Kitab Fiqh Klasik seperti Kitab Bughyatul Mustarsyidin, bahwa seorang suami
yang tidak menghasilkan nafkah untuk istrinya selama tiga hari berturut-turut, maka pada
hari keempatnya Hakim boleh memfasakh (merusak perkawinan) mereka atas tuntutan
istri. Sedangkan menurut perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dalam putusan Pengadilan Syari’at atau Pengadilan Agama alasan
perceraian karena ketidakmampuan ekonomi suami (Mu’sir) dimasukkan pada alasan
perceraian yang terdapat dalam pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yaitu antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Hal ini dikarenakan tidak diaturnya
alasan ketidakmampuan ekonomi suami (Mu’sir) sebagai alasan yang dapat digunakan
untuk mengajukan cerai. Kedua, terkait dengan pengaturan ketidakmampuan ekonomi
suami (Mu’sir) sebagai salah satu alasan perceraian menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan seperti telah dijelaskan diatas bahwa tidak ada
pengaturan khusus yang mengatur tentang hal tersebut. Namun demikian, dasar Hakim
memutuskan perkara cerai yang diajukan istri terhadap suami karena
ketidakmampuannya dalam hal ekonomi adalah dimasukkan pada pasal 19 huruf f
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu antara suami istri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga. Sehingga dengan demikian, tidak memakai alasan perceraian karena
ketidakmampuan ekonomi suami (Mu’sir), tetapi karena terjadinya perselisihan dan
pertengkaran terus menerus antara suami dan istri yang disebabkan karena
ketidakmampuan ekonomi suami (Mu’sir).
Adapun saran yang dapat penulis sumbangkan adalah sebagai berikut: pertama,
harus adanya saling komunikasi antara para pihak (suami dan istri), sehingga perceraian
dengan alasan apapun khususnya alasan ketidakmampuan ekonomi suami (Mu’sir) dapat ditekan seminimal mungkin. Sebab keterbukaan dan komunikasi merupakan salah satu jalan untuk dapat mempertahankan rumah tangga dari ujung perceraian. Namun
demikian, apabila ternyata perceraian merupakan jalan satu-satunya maka lakukan
dengan penuh kekeluargaan tanpa harus ada emosi dan dendam terhadap pihak yang lain.
Kedua, perlu adanya pengaturan yang dapat mengakomodasi semua permasalahan yang
diajukan ke Pengadilan Agama. Walaupun dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disebutkan alasan-alasan terjadinya perceraian. Namun, tidak dapat
mengakomodasi setiap permasalahan yang timbul. Sehingga, Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu kiranya direvisi utamanya mengenai alasan
pengajuan cerai yang terdapat dalam pasal 19 yaitu adanya pengaturan mengenai alasan
ketidakmampuan suami dalam hal ekonomi (Mu’sir) sebagai salah satu alasan dapat
diajukannya cerai.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]