PERKEMBANGAN KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI PETANI TEBU DI KECAMATAN PESANTREN KOTA KEDIRI TAHUN 1997-2002
Abstract
Dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan petani dan
memantapkan produksi gula nasional di Indonesia maka, pemerintah mengeluarkan
Inpres No 9 Tahun 1975 yang dikeluarkan pada tanggal 22 April 1975 tentang
pelaksanaan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Dalam pelaksanaannya
program TRI melibatkan beberapa pihak yang berfungsi sebagai koordinasi,
perencanaan, pengendalian, pelayanan, pembinaan dan pengawasan terhadap program
TRI. Beberapa pihak yang mendukung itu antara lain adalah pertama, petani atau
kelompok tani, sebagai penyedia lahan. Kedua, Pabrik Gula, sebagai pengelola tebu
menjadi gula. Ketiga, Satuan Pelaksana Bimbingan Massal (Satpel Bimas), sebagai
lembaga pengawas serta pembantu dalam memberikan penyuluhan kepada para
petani tebu. Keempat, Kantor Unit Desa (KUD), sebagai penyalur dana pinjaman
bagi petani tebu serta penyedia sarana produksi perkebunan tebu. Kelima, Bank
Rakyat Indonesia (BRI), sebagai penyedia dana pinjaman bagi petani tebu. Keenam,
Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) sebagai wadah atau organisasi dalam
memperjuangkan nasib petani tebu.
Dalam pelaksanaan program TRI di Wilayah Pesantren pada kenyataannya
belum bisa menyejahterakan kehidupan pera petani tebu seperti yang telah tercantum
pada tujuan awal dibentuknya program TRI. Hanya sedikit orang yang menikmati
hasil dari Program TRI, khususnya para pedagang tebu dan para birokrat yang terkait
dengan program TRI sejak dari pusat sampai ke desa. Kerjasama dengan pabrik gula
telah membawa pengalaman pahit yang sulit dilupakan oleh petani, mereka dirugikan
mulai dari angka rendemen, waktu angkut dan tebang, serta waktu giling. Selain
faktor-faktor tersebut terdapat faktor luar yang mempengaruhi turunnya minat petani
viii
untuk menanam tebu pada masa TRI. Pada masa TRI pembelian gula dari Pabrik
Gula Pesantren Baru dilakukan sepenuhnya oleh Bulog sebagai lembaga ketahanan
pangan. Pembelian gula oleh satu pembeli yang dikenal dengan sistem monopsoni ini
bertujuan untuk menjaga harga gula dipasaran agar tidak terlalu jatuh yang dapat
merugikan petani maupun terlalu tinggi yang dapat merugikan konsumen. Sistem
monopsoni ternyata merugikan petani tebu. Bulog gagal menyelamatkan petani tebu
karena harga beli gula seringkali jatuh dari harga pasarannya sehigga terkadang
petani tebu tidak bisa menutup biaya produksinya. Selisih harga revenue dengan
harga jual petani lebih banyak dinikmati oleh lembaga perantara yang ada dalam
tataniaga gula tersebut. Keengganan minat petani untuk menanam tanaman tebu ini
berakibat menurunnya produktifitas gula pada masa TRI. Adanya kerjasama kurang
baik antara pabrik gula dan petani membuat pabrik gula mulai merasakan kekurangan
bahan baku berupa tanaman tebu karena petani enggan menanam tanaman tebu
terlebih enggan untuk menyerahkan lahannya untuk ditanami tebu. Keengganan
petani terhadap program TRI juga dipicu karena adanya kondisi birokrat yang
berbelit, hal ini menyebabkan keuntungan yang diperoleh petani tebu menurun.
Semakin menurunnya produksi gula, akhirnya pemerintah mencabut program
TRI. Inpres No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan program TRI ini dihapus dengan
Inpres No. 5 Tahun 1998 yang berisi tentang pemberhentian sistem TRI yang berlaku
sejak tanggal 21 Januari 1998. Inpres ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan
bahwa dalam rangka pelaksanaan sistem budidaya tanaman, maka dipandang perlu
memberikan peranan yang lebih besar kepada petani untuk menentukan jenis tanaman
yang akan dibudidayakan serta cara pembudidayaannya.
Adanya pencabutan program TRI, hubungan antara petani tebu di Wilayah
Pesantren dan Pabrik Gula Pesantren Baru berubah menjadi sebuah hubungan
kemitraan (pola kemitraan). Perubahan sistem pembinaan pergulaan nasional
dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang selama
ini muncul berkaitan dengan budidaya tanaman tebu untuk mendukung produksi gula
nasional. Adanya sistem kemitraan dalam budidaya tanaman tebu dimaksudkan untuk
ix
menumbuhkan motivasi yang lebih kepada para petani atau kelompok tani yang
selama ini pada setiap musim tanam selalu menurun motivasinya sehingga mereka
akan lebih termotivasi untuk melakukan usahatani tebu. Pola kemitraan antara petani
tebu dengan Pabrik Gula Pesantren Baru mulai diterapkan sebagai pengganti
kebijakan TRI. Pola ini menempatkan posisi petani sejajar dengan Pabrik Gula
Pesantren Baru sehingga petani tidak lagi menjadi bawahan tetapi kini menjadi mitra
kerja. Pabrik Gula Pesantren Baru selalu melibatkan petani setiap mengambil
keputusan yang ada hubungannya dengan tebu petani.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebuah kesimpulan bahwa
petani tebu di Wilayah Pesantren lebih menyukai pola kemitraan dari pada program
TRI. Hal ini disebabkan karena dalam program TRI petani tidak mempunyai peranan
dalam mengawasi hasil tebunya sehingga mereka merasa dirugikan karena banyak
pihak yang turut campur dalam penanganan hasil produksinya tersebut dan akhirnya
mereka lebih memilih menanam tanaman padi karena hasilnya dapat cepat dirasakan
dan proses penanamannya tidak terlalu lama dan tidak rumit. Sedangkan pola
kemitraan petani tebu mempunyai banyak peranan dalam pengelolaan lahannya
sendiri serta dalam proses penjualan hasil produksinya. Sehigga dalam pola kemitraan
ini petani tebu lebih mendapat keuntungan yang lebih banyak bila dibandingkan
dengan menanam tebu meskipun proses penanamannya cukup lama.