RITUAL KEBO-KEBOAN: Membaca Politik Identitas
Abstract
Narasi bagaimana masyarakat Banyuwangi, khususnya masyarakat Using mengekspresikan dan “berbicara” tentang ritualnya84 dalam bentuk yang baru memperlihatkan peristiwa tersebut juga mengingatkan kita bahwa intervensi pemerintah sangat berperan dalam hal pengawasan dan perubahan terhadap ritual. Mitos Dewi Sri selalu ditimbang sebagai pemangku harmoni dan penyeimbang ekologi. Kealpaan padanya diyakini memperlebar jurang ketidakpastian, ketegangan, dan konflik. Tidak heran, apabila sesaji, mantra, nyanyian, dan ritual pertunjukan selalu diadakan, diulang terus-menerus, sebagai suatu stereotip tindakan yang tertata secara teratur dan didesain untuk memengaruhi entitasentitas yang bersifat alamiah dan memengaruhi kekuatan-kekuatan yang dituju. Sebagai masyarakat agraris yang bergantung pada pertanian, masyarakat Using rupanya sangat tertarik dan berkepentingan akan ritus semacam itu. Akan tetapi, potensi oposisi dan kepentingan untuk selalu menegaskan identitas diri mengharuskan masyarakat Using untuk tidak tenggelam ke dalam tradisi dan kebudayaan lain, melainkan justru menjadi pendorong untuk bermeditasi dan berkreasi secara bebas dan terbuka. Bahwa, di dalam kreasi ternyata masyarakat Using tidak meninggalkan sama sekali ritual Sang Hyang yang lebih dahulu dikenal seperti yang terlihat dalam Seblang85 adalah sesuatu yang wajar (Anoegrajekti, 2003). Hal yang sama juga terjadi dalam ritual Kebo-keboan di desa Alasmalang dan desa Aliyan.
Collections
- Fakultas Sastra [95]