Kerusuhan 10 Oktober 1996 di Kabupaten Situbondo
Abstract
Pada bulan Oktober, tepatnya pada tanggal 10 Oktober 1996 terjadi sebuah
kerusuhan yang tidak mudah dilupakan oleh masyarakat Kabupaten Situbondo.
Kerusuhan tersebut berawal ketika massa tidak puas dengan keputusan hakim
terhadap terdakwa Saleh yang melakukan penghinaan agama. Kerusuhan tersebut
kemudian berlanjut dengan pengrusakan serta pembakaran gedung Pengadilan
Negeri Situbondo, gereja Bethel Indonesia Bukit Sion serta gereja-gereja lain di
Besuki, Penarukan, Asembagus dan Banyuputih. Kerusuhan tersebut merupakan
rekayasa politik demi melemahkan organisasi NU Situbondo menjelang Pemilu
1997, namun hal itu perlu diteliti kembali demi mendapatkan kebenarannya.
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana kondisi pemerintahan
Indonesia pada masa Orde baru sebelum terjadinya kerusuhan 10 Oktober 1996 di
Situbondo, bagaimana terjadinya kerusuhan 10 Oktober 1996 di Kabupaten
Situbondo, serta bagaimana hasil analisis kerusuhan 10 Oktober 1996 di Kabupaten
Situbondo. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi
pemerintahan Indonesia pada masa Orde baru sebelum terjadinya kerusuhan 10
Oktober 1996 di Situbondo, terjadinya kerusuhan 10 Oktober 1996 di Kabupaten
Situbondo, serta hasil analisis kerusuhan 10 Oktober 1996 di Kabupaten Situbondo.
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, agar kerusuhan serupa
tidak terjadi kembali di masa depan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
sejarah yang terdiri dari (1) heuristik; (2) kritik; (3) intrepretasi; (4) historiografi
untuk mengungkapkan kebenaran dalam kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo.Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kerusuhan
pada hari Kamis tanggal 10 Oktober 1996 di Kabupaten Situbondo merupakan
kerusuhan hasil rekayasa politik dari oknum partai politik tertentu untuk
melemahkan organisasi NU menjelang pemilu 1997. Hal tersebut terbukti dari
temuan tentang kejanggalan-kejanggalan saat kerusuhan berlangsung. Kejanggalankejanggalan
tersebut antara lain yaitu kasus Saleh tidak memiliki kaitan apa pun
dengan umat Kristen, logat bicara massa perusuh bukan logat khas masyarakat
Situbondo, selama kerusuhan berlangsung massa sering meneriakkan yel-yel yang
berkaitan dengan NU, kerusuhan tersebut terjadi pukul l0.30 WIB tetapi aparat
keamanan baru terlihat berdatangan sekitar 16.00 WIB, serta KH Zaini Abdul Aziz
yang dianggap memiliki kaitan langsung dengan kerusuhan tidak pernah dimintai
keterangan oleh pihak aparat.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu Kondisi pemerintahan Orde Baru
sebelum terjadinya kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo sangatlah
memprihatinkan. Dalam bidang politik, masyarakat tidak mendapatkan kebebasan
berpolitik secara luas. Hal tersebut karena adanya kekangan pemerintah Orde Baru
yang membatasi kebebasan dalam berpolitik dengan alasan menjaga kepentingan
nasional. Kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo terjadi sekitar pukul 10.30 WIB.
Kerusuhan tersebut berawal dari persidangan Saleh sebagai tersangka kasus
pencemaran agama yang kemudian akhirnya terjadi pembakaran-pembakaran di
gedung Pengadilan Negeri Situbondo serta gereja-geraja kawasan Kabupaten
Situbondo. Dari hasil analisis kerusuhan yang terjadi di Situbondo, dapat diperoleh
suatu kesimpulan bahwa kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo memiliki kaitan
dengan suatu politik menjelang pemilu 1997 demi melemahkan PPP di Kabupaten
Situbondo yang merupakan basis NU terbesar di Jawa Timur. Saran penulis kepada
pembaca, sebaiknya kita sebagai generasi penerus bangsa tidak mudah terhasut serta
mudah terpancing emosi dalam menanggapi suatu permasalahan.