Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia: Perspektif Filosofis, Hukum, dan Politik
Abstract
Agama, hak untuk beragama atau berkeyakinan dan status
penganut agama-agama atau keyakinan merupakan beberapa isu-isu
krusial yang belum tuntas di Indonesia. Meskipun, hingga sekarang,
konsep Negara Indonesia bukan teokrasi, namun pemerintah dan
mayoritas masyarakat masih mengakui pentingnya nilai-nilai agama
untuk mendefinisikan atau bahkan menentukan hak atau kebebasan
apa yang layak untuk diberikan atau ditolak di Indonesia. Salah satu
hak atau kebebasan yang masih menjadi perdebatan di Indonesia adalah
hak untuk beragama atau berkeyakinan. Sebagian masyarakat, terutama
kelompok mayoritas, sudah mendapatkan hak untuk beragamanya.
Namun sebagian yang lain masih belum mendapatkan hak-hak mereka
terutama penganut agama atau keyakinan minor itas. Persoalan
penganut agama atau keyakinan semakin serius ketika bersinggungan
dengan sekte atau aliran minoritas di suatu agama tertentu karena
mayor i tas mas yar akat menganggap mer eka adal ah kel ompok
menyimpang yang harus disembuhkan atau disingkirkan.
Ketiga persoalan tersebut menjadi semakin serius karena negara
hingga saat ini memberi ruang kepada masyarakat untuk menafsirkan
regulasi-regulasi terkait agama dan hak beragama atau berkeyakinan
menurut versi pemahaman mereka sendiri. Oleh karena itu, regulasi mengenai penistaan agama di Indonesia sering disalahgunakan oleh
mayor i t as dan ne gar a unt uk me ndi s kr i mi nas i at au bahkan
mengkriminalisasi tindakan yang dianggap mengancam ortodoksi
agama, mengganggu ker ukunan antarumat beragama maupun
mengganggu stabilitas sosial.
Mayoritas kasus maupun insiden terkait
penistaan agama yang selama ini terjadi di Indonesia menunjukkan
posisi negara yang lebih cenderung melindungi agama atau hak
beragama dari kelompok mayoritas. Posisi negara juga tidak berubah
ketika ter j adi kasus pelanggar an hak beragama dar i kelompok
minoritas seperti Kasus Ahmadiyah Cikeusik sehingga menyebabkan
penganut sekte agama atau agama minoritas menjadi korban. Sayangnya,
terminologi “sesat, menyimpang, mengganggu, maupun menghina”
masi h mendomi nasi kebij akan negara sehi ngga menyebabkan
pelanggaran terhadap hak beragama atau berkeyakinan di Indonesia
semakin meningkat.
2
1
Era desentralisasi kewenangan yang seharusnya merupakan
kebijakan untuk memeratakan kemajuan di semua aspek kehidupan
masyarakat juga mengalami kemunduran dengan munculnya beragam
kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap penganut agama atau
keyakinan tertentu. Salah satu faktor yang diyakini menyebabkan
memburuknya perlindungan dan pemenuhan hak beragama atau
berkeyakinan di banyak daerah tersebut adalah karena pengarusutamaan
moralitas agama telah dijadikan platform politik oleh pemerintah
daerah. Dalam praktiknya, moralitas agama ini banyak menggilas individu atau kelompok yang dianggap melawan moralitas agama versi
mayoritas. Birokratisasi agama ini semakin memperketat syarat untuk
beragama atau berkeyakinan sehingga mengakibatkan individu/
kelompok minoritas terpaksa melakukan pelanggaran hukum dengan menggunakan bangunan tempat tinggal sebagai tempat ibadah setelah
tidak ada alternatif yang diberikan oleh negara untuk memenuhi hak
beragama mereka.
Berangkat dari keprihatinan terhadap persoalan tersebut, buku
“Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia: Perspektif
Filsafat, Hukum, dan Politik” berusaha menjawab kompleksitas
persoalan hak beragama atau berkeyakinan di Indonesia melalui
pendekatan interdisipliner. Perspektif filsafat akan mengulas landasan
filosofis pentingnya penghormatan hak asasi manusia, terlebih hak
beragama atau berkeyakinan. Perspektif ini tidak hanya mendiskusikan
norma- nor ma hak ber agama atau ber keyaki nan di instr umen
internasional melainkan juga dasar pemikiran penghormatan terhadap
hak hak tersebut di berbagai agama dan budaya masyarakat.
Collections
- LSP-Books [902]