Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi Authority Abuse in Corruption Criminal Offense
Abstract
Karya ilmiah/tesis ini membahas tentang penyalahgunaan wewenang
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Permasalahan
timbul karena konsep “penyalahgunaan wewenang” dalam UU Administrasi
Pemerintahan oleh beberapa ahli hukum dipandang sama dengan konsep
“menyalahgunakan kewenangan” karena jabatan dalam UU Pemberantasan
Tipikor. Ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa kewenangan
absolut antara Peradilan Tipikor dan Peradilan Administrasi, padahal terbuktinya
penyalahgunaan wewenang membawa implikasi yang lebih luas dibandingkan
dengan adanya cacat prosedur, yaitu di samping berakibat pada pencabutan
ketetapan (beschikking) bisa berimplikasi pidana jika dengan penyalahgunaan
wewenang menimbulkan kerugian negara.
Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian hukum (legal
research), artinya menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum
sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu
sesuai prinsip hukum, serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai norma hukum
(bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum. Sehubungan dengan tipe
penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif, maka pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute-approach),
pendekatan konsep (conceptual approach), Pendekatan Kasus (Case Approach)
dan pendekatan historis (historical approach). Pendekatan perundang-undangan
dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya justru kondusif untuk
menemukan bagaimana formulasi pengaturan penyalahgunaan wewenang dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Pendekatan konsep
digunakan untuk memahami doktrin-doktrin yang telah dikemukakan oleh para
ahli terkait isu yang diangkat oleh peneliti yang kemudian dari beberapa doktrin
tersebut ditarik kesimpulan kemudian dijadikan pemecahan atas isu yang diangkat
oleh peneliti dalam tesis ini. Pendekatan Kasus adalah pendekatan yang dilakukan
dengan cara melakukan telaah terhadap studi kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan pendekatan historis bertujuan untuk untuk
mencari aturan hukum dari waktu ke waktu dalam rangka memahami rasio legis
penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Bertitiktolak kepada permasalahan dan metode penelitian di atas, dapat
diberikan hasil penelitian, yaitu: Pertama, Ratio Legis penyalahgunaan wewenang
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak disebut secara eksplisit.
Dengan tidak adanya penjelasan yang utuh terhadap ketentuan penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka
terdapat keterbatasan dalam memahami makna penyalahgunaan kewenangan
dalam pemberantasan korupsi ditinjau dari perspektif hukum pidana. Kedua,
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ternyata tidak mengatur
dengan tegas dan jelas mengenai kriteria penyalahgunaan wewenang. Tidak
diaturnya kriteria penyalahgunaan wewenang menimbulkan beberapa interpretasi
sehingga kepastian hukum belum terjamin. Tidak terjaminnya kepastian hukum
mengakibatkan terhambatnya penegakan hukum Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi..
Bertitik tolak dari hasil pembahasan tersebut maka diperoleh kesimpulan
yaitu pertama, bahwa latar belakang dimasukkannya penyalahgunaan wewenang
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu dalam Pasal
3, bermula dari subyek hukum yang hendak dibidik yaitu pejabat publik yang
melakukan praktek kekuasaan yang buruk yang mengakibatkan kerugian Negara.
Kedua, kriteria penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terformulasi dengan ideal sehingga
menimbulkan beberapa interpretasi yang mengakibatkan tidak terjaminnya
kepastian hukum. Pada akhirnya dari penelitian ini dapat saya sampaikan
beberapa saran yaitu pertama, pembentuk undang-undang (legislatif) perlu
memunculkan Ratio Legis pengaturan penyalahgunaan wewenang dan disebut
dengan tegas dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perlu dikemukakan tentang siapa subyek hukum (pelaku) yang dimaksud dalam
kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang. Kedua, pembentuk undang-undang
(legislatif) perlu memasukkan domain hukum pidana yang tidak terdapat dalam
cabang hukum lainnya yaitu dengan mencantumkan secara tegas pengaturan
tentang unsur kesalahan.
Collections
- MT-Science of Law [334]